Sistem Penerimaan Negara Disorot, Hashim Djojohadikusumo Sebut Pengelolaan Pajak hingga Royalti Indonesia Parah

Hashim Djojohadikusumo menyampaikan pandangannya soal lemahnya sistem penerimaan negara dan tantangan pengelolaan SDA dalam forum akademik di UI. (YouTube/univ_indonesia_official)
YUDHABJNUGROHO – Utusan Khusus Presiden yang menangani Energi dan Lingkungan Hidup, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan bahwa sistem penerimaan negara Indonesia berada dalam keadaan yang sangat buruk dan tergolong salah satu yang terlemah di dunia.
Pernyataan ini disampaikan Hashim berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan selama sepuluh tahun terakhir.
Informasi tersebut disampaikan Hashim dalam acara Bedah Buku berjudul Future Talk: Indonesia Naik Kelas and Peran Sivitas Akademika yang berlangsung di Universitas Indonesia pada hari Jumat, 12 Desember 2025.
“Sistem penerimaan negara kita, seperti pajak, bea cukai, PNBP, dan royalti, dalam kondisi yang sangat menyedihkan,” ungkap Hashim dalam forum itu.
Hashim menjelaskan bahwa rasio penerimaan negara Indonesia berada di angka 9-10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurutnya, angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan rasio penerimaan yang terendah di dunia.
“Indonesia memang salah satu yang paling lemah dan rendah di dunia, dengan rasio 9-10 persen dari PDB,” ucapnya.
Hashim mengatakan bahwa lemahnya penerimaan negara bukan karena kurangnya potensi ekonomi, tetapi disebabkan oleh buruknya kinerja aparatur negara dalam mengelola sektor perpajakan, bea cukai, dan penerimaan negara yang bukan berasal dari pajak.
“Jika aparat pajak dan bea cukai bekerja dengan baik, Indonesia seharusnya bukan negara defisit, tetapi surplus,” tambah Hashim.
Ekonomi Gelap Capai 35 Persen
Hashim juga mengungkapkan besarnya proporsi ekonomi yang tidak terdaftar, baik itu ekonomi abu-abu maupun ekonomi gelap.
Mengacu pada informasi dari Bank Dunia, ia menyebutkan bahwa sekitar 35 persen dari aktivitas ekonomi Indonesia tidak tercatat dalam sistem resmi.
“Bank Dunia menyatakan saat ini (ekonomi abu-abu/hitam) kurang lebih 35 persen dari total ekonomi kita yang tidak tercatat,” kata Hashim.
Ia menjelaskan bahwa selama ini nilai ekonomi Indonesia sering kali disebut-sebut sekitar Rp25. 000 triliun, namun angka tersebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
“Sebenarnya, ekonomi Indonesia bukan hanya 25. 000 triliun, saat ini ada di kisaran 31-32. 000 triliun, tetapi 7 triliun itu tidak terhitung,” lanjutnya.
Sumber Daya Alam dan Kualitas SDM Jadi Sorotan
Di kesempatan yang sama, Hashim menekankan ketergantungan Indonesia pada sumber daya alam. Ia memperingatkan bahwa cadangan sumber daya alam nasional diperkirakan hanya dapat bertahan selama sekitar 50 tahun ke depan.
“Sumber daya alam kita akan habis dalam 50 tahun ke depan,” terangnya.
Oleh karena itu, Hashim menilai Indonesia perlu segera memanfaatkan kesempatan yang ada saat ini sambil meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Ia membandingkan kondisi Indonesia dengan Korea Selatan pada tahun 1960-an.
“Pada tahun 60-an, ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan Korea Selatan. Sekarang, ekonomi per kapita kita hanya 1/10 dari Korea Selatan,” ujar Hashim.
Ia menambahkan bahwa penyebab utama ketertinggalan ini adalah kualitas sumber daya manusia, khususnya dalam bidang pendidikan.
“Ini adalah masalah sumber daya manusia, tidak ada jawaban lain,” tegas Hashim.
Ia juga menyatakan bahwa kualitas pendidikan nasional Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Dalam perbandingan dengan 70 negara, pendidikan nasional Indonesia berada di peringkat 63 dari total 70 negara,” tutupnya.y©
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.