Masalah Banjir Belum Tuntas, Truk Pengangkut Sawit Disebut Masih Konvoi Melintas di Jalanan Aceh

Menyoroti viralnya truk pengangkut sawit yang konvoi melintasi jalanan setelah bencana banjir bandang di Provinsi Aceh. (Instagram.com/@jakarta.keras)
YUDHABJNUGROHO – Beredar sebuah video di platform media sosial yang menunjukkan truk-truk mengangkut hasil perkebunan kelapa sawit di jalanan Provinsi Aceh.
Dalam postingan di Instagram oleh @jakarta. keras pada Jumat, 12 Desember 2025, terlihat banyak truk berlalu-lalang di jalanan Aceh.
Situasi ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena berlangsung di saat masyarakat masih berjuang untuk pulih setelah bencana banjir bandang yang melanda mereka akhir November 2025 lalu.
“Kami masih tinggal di rumah yang penuh lumpur, sedangkan bisnis kalian tetap berjalan,” ungkap salah satu komentar dalam postingan tersebut.
Selain itu, akun tersebut juga menyoroti tindakan individu yang dianggap telah merusak ratusan ribu hektar hutan di Aceh, serta diduga terlibat dalam kegiatan ilegal seperti pertambangan dan penanaman kelapa sawit.
Terlebih, kurangnya area resapan air diduga berkontribusi pada bencana banjir yang menimpa wilayah tersebut.
“Lebih baik jika konvoi ini membawa bantuan untuk warga,” kata akun tersebut. Menyikapi masalah ini, beberapa kalangan kini mulai mendorong Kementerian Kehutanan RI untuk menindak tegas aktivitas ilegal di kawasan yang rawan bencana.
Desakan Hapusan Izin Usaha Kelapa Sawit
Secara terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyebabkan kerusakan hutan dan daerah aliran sungai mencapai 889. 125 hektar.
Dalam laporan resminya yang dirilis pada Selasa, 9 Desember 2025, WALHI menegaskan bahwa kondisi ini diperburuk oleh aktivitas ilegal.
"Oleh karena itu, WALHI meminta Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut semua izin usaha di sektor kehutanan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat,” tulis WALHI.
Selain itu, mereka menekankan perlunya tindakan hukum yang tegas terhadap kegiatan ilegal pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di tiga provinsi tersebut.
"Kejadian bencana yang menyebabkan kerugian besar ini seharusnya dijadikan momentum untuk merombak semua kebijakan sektor kehutanan dan lingkungan di Indonesia,” tegas WALHI.
5.208 Hektar Hutan di Aceh Dikonversi Jadi Kebun Sawit
Dalam laporan yang sama, Kepala Divisi Kampanye WALHI, Uli Artha Siagian, menjelaskan bahwa proses evaluasi izin yang berujung pada pencabutan izin perlu dilakukan secara terbuka.
Proses ini dianggap penting untuk menjamin perlindungan lingkungan, isu kebencanaan, dan pemulihan hak masyarakat.
“Kegiatan ilegal di hutan dan daerah aliran sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah berlangsung sejak belasan tahun lalu, bahkan lebih lama,” kata Uli.
Berdasarkan Pasal 72 UU Kehutanan, Menteri Kehutanan memiliki hak untuk mewakili kepentingan masyarakat dan memaksa perusahaan-perusahaan yang merusak hutan untuk bertanggung jawab.
Ini termasuk kewajiban mengganti kerugian yang dialami masyarakat dan memulihkan hutan yang merupakan sumber kehidupan mereka.
"Jika tindakan ilegal ini ditangani dan dihentikan lebih awal, kemungkinan besar dampak buruk seperti yang terjadi saat ini tidak akan muncul," jelas Uli.
WALHI mencatat setidaknya ada 13 perusahaan di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan yang terlibat dalam perusakan hutan yang menyebabkan penurunan signifikan terhadap daya dukung lingkungan.
Selain itu, WALHI juga melaporkan bahwa ada 5. 208 hektar kawasan hutan yang telah dialihkan untuk menjadi perkebunan kelapa sawit oleh 14 perusahaan di Provinsi Aceh, yang mencakup tujuh kabupaten: Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Besar.
Menurut WALHI, hal ini telah menyebabkan kerusakan pada 954 daerah aliran sungai, di mana 60 persen dari area tersebut berada dalam kawasan hutan di Provinsi Aceh.y©
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.