Benarkah Libur Sabtu-Ahad Menyerupai Yahudi Nasrani? - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    Benarkah Libur Sabtu-Ahad Menyerupai Yahudi Nasrani?


    Simbol Yahudi, ilustrasi
    Simbol Yahudi, ilustrasi
    REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

    Libur Sabtu-Ahad bukan termasuk tasyabbuh atau bid’ah.

    Isu perihal hari apakah yang pantas dijadikan sebagai libur nasional tiap pekan, memang bukan perkara yang hangat diperbincangkan di Tanah Air. Bahkan, tak pernah terdengar di permukaan.

    Tetapi permasalahan yang sama, mengemuka dan menjadi topik panas di sejumlah negara Timur Tengah. Ini setelah pemerintah sejumlah negara tersebut, mengeluarkan kebijakan pergantian libur nasional, dari semula Kamis dan Jumat beralih ke Jumat dan Sabtu. Seperti yang terjadi di Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi.


    Di negara yang terakhir, masalah tersebut menjadi polemik. Tidak hanya melibatkan agamawan, tetapi juga menyeret para ekonom dan pebisnis untuk turut angkat bicara mengomentari masalah tersebut.

    Menurut pegiat ekonomi, penetapan libur nasional yang berbeda dengan kebanyakan negara, cukup berpengaruh pada perekonomian. Indeks saham ataupun transaksi internasional lainnya kerap ditutup di akhir pekan, yang notabene adalah Sabtu dan Ahad.

    Mantan Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa’ud, Arab Saudi, Prof Su’ud al-Fanisan, berpendapat Islam tak mengenal hari libur tertentu. Hari-hari selama sepekan, hakikatnya adalah rutinitas dan bergerak.

    Namun demikian, jika memang hendak menetapkan hari libur, semestinya tidak menyerupai pola libur yang berlaku di kalangan Yahudi.
    Dalam tradisi mereka, Sabtu merupakan hari yang suci sehingga Jumat dinyatakan libur untuk beragam bentuk persiapan.
    Atas dasar ini maka penetapan itu adalah bentuk penyerupaan (tasyabbuh) dengan tradisi Yahudi. “Ini tidak diperbolehkan,” ujarnya.

    Prof Su’ud pun lantas mengutip sejumlah dalil, antara lain, Rasulullah SAW pernah menegur sejumlah sahabat yang memberkati senjata mereka di pepohonan dengan rujukan kebiasaan Yahudi. Rasul lantas melarang mereka.

    Selain dalil ini, ia berargumentasi pula bahwa perubahan hari libur nasional itu, berarti mengubah pula tradisi yang baik beralih jelek.

    Apalagi, Kamis merupakan hari yang sarat dengan keutamaan karenanya dianjurkan berpuasa. Allah SWT berfirman, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS al-Baqarah [2]:61).

    Tetapi, sekalipun ada unsur tasyabbuh yang dilarang, Prof Su’ud menegaskan tidak gegabah menghukumi pelakunya—dalam konteks masalah ini—dengan label fasik bahkan kafir.

    Anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi, Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, pada 2012 sebelum perubahan resmi ditetapkan tahun ini menolak keras rencana penggantian libur tersebut.

    Ia mengingatkan, Sabtu dalam tradisi Yahudi bukan sekadar hari libur biasa. Melainkan merupakan hari suci keagamaan. Ini terbukti dari pernyataan Ibnu Taimiyah.

    Menurut sosok yang bergelar Syaikh al-Islam itu, Yahudi mengagungkan Sabtu lantaran menurut keyakinan mereka, pada hari inilah Tuhan beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi.
    Sedangkan, berdasarkan kepercayaan Nasrani, Ahad adalah hari pertama ketika Tuhan memulakan penciptaan langit dan bumi.

    Dan, umat Islam dimuliakan dengan Jumat. Pada hari tersebut, penciptaan telah sempurna, Adam manusia pertama diciptakan pada Jumat, kiamat pun akan datang pada hari itu, dan Jumat merupakan hari yang istimewa untuk berdoa. Lantaran ada waktu yang manjur untuk berdoa, juga terdapat anjuran shalat Jumat.

    Dengan demikian, ujar Syekh Fauzan, mengganti hari libur Jumat-Sabtu atau bahkan Sabtu-Ahad, tidak diperbolehkan lantaran menyerupai tradisi Yahudi dan Nasrani.

    Apalagi, tradisi tersebut berkorelasi kuat dengan akidah dan kepercayaan mereka. Rasulullah SAW melarang tasyabbuh semacam ini. “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka,” tulis Syekh Fauzan menukilkan sabda Rasul.

    Diperbolehkan
    Secara terpisah, Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’) menegaskan penetapan hari libur nasional termasuk perkara mubah dalam Islam, tak ada ketentuan dan batasan syar’inya untuk menunjuk hari tertentu. Tak ada korelasi pula hari raya agama tertentu dengan libur nasional tersebut.

    Perhatikan saja, tulis lembaga yang kini diketuai oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, para generasi salaf tidak pernah memperkenalkan libur pekanan, seperti Jumat ataupun dua hari raya, Idul Fitri dan Adha.
    Justru, hari-hari tersebut terlepas dari kesuciannya dan anjuran shalat, mendorong segenap umat untuk berkarya, bukan malah santai.

    Simak ayat ke-9 dan ke-10 surah al-Jumu’ah. Dua ayat tersebut mengisyaratkan secara jelas seruan untuk beraktivitas atau bertransaksi sebelum atau sesudah shalat Jumat dilaksanakan. Sama sekali tidak menyerukan untuk bersantai-santai pada Jumat.

    Dar al-Ifta’ menegaskan, bila pemerintah memberlakukan libur nasional Jumat-Sabtu, Sabtu-Ahad maka ketetapan itu tidak dikategorikan penyerupaan Yahudi atau Nasrani yang dilarang agama.

    Perkara dianggap penyerupaan bila memenuhi dua syarat, yakni pertama, aktivitas yang ditiru tersebut termasuk perkara yang dilarang dan kedua, yang bersangkutan memang berniat untuk menduplikat perilaku tertentu tersebut.

    Umar bin Khattab mengikuti Romawi soal dokumentasi atau administrasi, ketika para sahabat menaklukkan Persia, mereka shalat menggunakan celana khas Persia, dan hal semacam ini bukan tasyabbuh yang dikecam agama.

    Ibnu Hajar al-Asqalani di Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukharimenguraikan persoalan ini dengan mencontohkan tren baju jubah thailasan yang familiar dalam tradisi ritual Yahudi, kini model baju itu menjadi mode dan tak lagi terbatas untuk mereka.

    Oleh karena itu, boleh-boleh saja mengenakannya. Penegasan ini juga disampaikan oleh Imam Izzuddin Ibn Abd as-Salam. Demikian halnya, soal libur Sabtu atau Ahad.

    Dunia internasional, baik Yahudi, Nasrani, atau umat beragama lainnya, menggunakan hari ini sebagai libur nasional. Kedua hari itu, bukan lagi domain Yahudi atau Nasrani dan telah menjadi lumrah.

    Maka penetapan kapankah harus libur nasional diserahkan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemaslahatan umum. Tidak ada kaitannya dengan tasyabbuh ataupun bid’ah yang digembor-gemborkan sebagian kalangan.

    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad