Salah Kaprah Jokowi Mengecam Macron demi Isu Populis?
tirto.id - Presiden Joko Widodo menyatakan mengecam
pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron pada 31 Oktober lalu. Ia
menganggap Macron telah "menghina agama Islam" dan "melukai
perasaan umat Islam di seluruh dunia" saat menanggapi kekerasan yang terjadi
di Nice, Paris, beberapa waktu sebelumnya.
Pernyataan Macron ini menurutnya bisa memicu
perpecahan antar umat beragama di dunia, dan itu tidak semestinya terjadi
karena yang dibutuhkan sekarang adalah persatuan untuk menghadapi pandemi
COVID-19.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Menurutnya dalil kebebasan berekspresi tapi
mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama
itu "sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan."
Jokowi juga mengatakan mengaitkan agama dengan
terorisme adalah kesalahan besar. Terorisme tidak ada hubungannya dengan agama
apa pun. Ia lantas mengatakan "Indonesia mengajak dunia mengedepankan
persatuan dan toleransi."
Duduk perkaranya dimulai pada 2 Oktober lalu.
Pada hari itu Macron menyebut "Islam adalah agama yang sedang mengalami
krisis, di mana pun di dunia. Tak hanya yang kita lihat sekarang." Dalam
pidato itu ia juga mengumumkan rencana untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler
Perancis dari apa yang disebut "radikalisme Islam." Rencana itu
termasuk melarang seseorang mengenakan sesuatu yang berafiliasi dengan agama
tertentu di sekolah dan kantor-kantor layanan publik--misalnya jilbab.
Ucapan Macron ini semacam menjadi 'titik api'.
16 Oktober, seorang guru bernama Samuel Paty, 47 tahun, diserang dan penggal
kepalanya tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar di Conflans-Sainte-Honorine,
sebuah daerah pinggiran kota, 24 kilometer dari pusat kota Paris. Ia diserang
oleh Abdullakh Anzorov, remaja 18 tahun, imigran asal Rusia, bersama dua orang
temannya.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Penyerangan itu dipicu kemarahan Anzorov
terhadap Paty yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad saat mengajar tentang
kebebasan berpendapat. Karikatur ini dipublikasikan majalah satire Perancis,
Charlie Hebdo, pada 2015.
Pemerintah Perancis kemudian memberikan
penghormatan terhadap Paty pada 21 Oktober di Universitas Sorbonne. Dalam malam
penghormatan itu, Presiden Emmanuel Macron kembali menyatakan sikapnya terhadap
radikalisme Islam. "Paty dibunuh karena Islamis menginginkan masa depan
kita," ucap Macron. "Mereka tidak akan memilikinya."
Dua pernyataan Macron—tanggal 2 Oktober dan 21
Oktober—ini yang menjadi pemicu kemarahan Muslim dunia, termasuk Jokowi. Namun,
beberapa pihak menilai pernyataan ini ditafsirkan secara keliru.
Muhammad Ali, dosen program studi Timur Tengah
dan Islam, Universitas California, Amerika Serikat mengatakan yang dimaksud
Macron "krisis ideologis umat Muslim dunia" adalah para separatis dan
ekstremis—yang kerap menggunakan kekerasan—yang bertentangan dengan nilai
Republik Prancis. Muhammad Ali tak melihat ada upaya menghina agama Islam dalam
pidato 2 Oktober itu.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Oleh karena itu, kata dia, akan lebih baik jika
Jokowi terlebih dulu menghubungi Duta Besar Prancis atau langsung bertanya ke
Macron apa maksud pidato tersebut, sebelum memberikan respons.
Begitu juga dengan dosen Politik Perancis FISIP
Universitas Indonesia, Mahmud Syaltout. Dua hari lalu (2/11/2020), ia
mempertanyakan pidato Macron yang mana yang dianggap Jokowi menghina agama
Islam. Kata dia, dalam pidato 2 Oktober, yang dimaksud Macron adalah
radikalisme dan separatisme Islam, yang dalam konteks di Indonesia akan merujuk
pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Sebenarnya narasi Macron tak jauh
berbeda dengan narasi Jokowi selama ini," kata Mahmud.
Dalam terjemahan Mahmud, Macron menginginkan
adanya antitesis diskursus Islam bernama "Islam yang bercahaya,"
yaitu Islam yang merangkul nilai-nilai republik, yang satu visi dengan Islam
Nusantara di Indonesia. "Ia juga bicara radikalisme dan terorisme atas
nama Islam yang mengglorifikasi kekerasan dan kebencian, yang apesnya mereka
hidup di konteks demokrasi dan kebebasan Perancis, yang sebenarnya seringkali
dapat penghidupan dari negara."
Apa yang ditafsirkan Muhammad Ali dan Mahmud
Syaltout sejalan dengan klarifikasi Macron sendiri pada 1 November lalu:
"Apa yang kami lakukan di Perancis adalah memerangi terorisme yang
dilakukan atas nama Islam, bukan Islam," katanya, diterjemahkan secara
bebas dari bahasa Perancis.
Kepentingan
Politis?
Mahmud juga kecewa dengan langkah Jokowi yang
tidak lebih dulu melakukan verifikasi. Padahal, kata dia, bisa saja Jokowi
langsung menghubungi Macron, atau minimal Duta Besar Perancis di Indonesia.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
"Tanya saja, 'lu ngomong apa sih?' ke
Macron. Dengan itu, akhirnya bisa mengeluarkan pernyataan yang agak
proper," kata Mahmud kepada wartawan Tirto, Selasa (3/11/2020) malam.
Ia menduga Jokowi melakukan itu karena
pertimbangan politik dalam negeri. Maksudnya, jika "tidak marah atau tidak
punya posisi yang jelas ke Macron," kata Mahmud, citra Jokowi bakal buruk
karena sentimen ke Macron sudah begitu negatif, baik dari negara lain atau di
dalam negeri. Bahkan sudah ada pihak-pihak yang menyerukan memboikot produk
Perancis.
Dalam konteks Pilkada 2020, ketidaktegasan
sikap terhadap Macron bisa saja buruk bagi keluarga Jokowi yang maju di
daerah-daerah. "Bisa saja digoreng oleh siapa pun lawan politiknya,"
katanya. Contohnya, "Saya tidak akan memilih Mas Gibran (anak Jokowi, maju
di Pilkada Solo) karena bapaknya tidak mengutuk Macron, kata pemilih seperti
itu," kata Mahmud.
Masalahnya menomorsekiankan maksud sebenarnya
Macron juga berdampak buruk bagi Indonesia. Pertama, tentu saja akan membuat
hubungan Indonesia dan Perancis menjadi merenggang dalam konteks bilateral dan
geopolitik.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
"Kedua, bahaya lainnya bisa menaikkan
tensi intoleransi di Indonesia. Dengan saya mencoba memberikan pandangan yang
cukup jernih saja terkait terjemahan ucapan Macron, dengan sumber sana-sini,
sudah banyak yang menuding saya tidak cukup muslim karena tidak ikut mengecam.
Padahal saya juga mengutuk. Cuma saya meluruskan ucapan Macron," katanya.
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
Sumber : Baca selengkapnya di
artikel "Salah Kaprah Jokowi Mengecam Macron demi Isu Populis?", https://tirto.id/f6BR
-----------------
Schrijver.
Copyright.
©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.