Mengapa Nama Menkes ‘Merana’ saat Pandemi Digdaya ? - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    Mengapa Nama Menkes ‘Merana’ saat Pandemi Digdaya ?



        Musim pemberitaan (baca : Propaganda) pandemi Covid 19 belum juga menunjukkan tanda – tanda penurunan. Masih terus bertambah jumlah pasien yang (katanya) terkonfirmasi positif Covid 19. Pemberitaan yang terus – menerus menghiasi layar kaca dalam bahasa yang berbeda – beda, sukses membuat isi kepala rakyat Indonesia menjadi ketakutan.
        Namun setelah sepanjang perjalanan Covid 19 selama setengah tahun terakhir ini, mengapa nama Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto seketika meredup, malahan yang sering muncul adalah Juru Bicara Penanganan Covid 19, Ahmad Yurianto.
    Gambar 1 : dr. Terawan Agus Putranto. Ilustrasi. (Sumber : https://akcdn.detik.net.id/visual/2017/09/15/4c5d013c-a97e-4152-a7f5-762d2801ceab_169.jpg?w=650)

        Penulis terpikir keberadaan Menkes yang terpinggirkan ini, setelah ramainya kritik mengenai kasus kriminalisasi mantan Menkes, Siti Fadillah Supari. Dalam pemberitaan, Ibu Siti didakwa atas tuduhan korupsi anggaran pengadaan alat kesehatan.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

        Jika menjadi rakyat Indonesia yang melek literasi (tentu bukan dari media massa mainstream), pasti sudah mengetahui bagaimana bisa beliau didakwa seperti itu. Seperti yang Penulis kaji, Korupsi tersebut memang benar adanya, namun dilakukan oleh pejabat eselon beliau di Kementerian Kesehatan, dan parahnya pejabat eselon yang melakukan itu dibebaskan dari dakwaan. Tuduhan pada Ibu Siti lebih diberatkan karena alasan ‘pemimpin harus bertanggung jawab’.
        Kabar ramainya pendakwaan ibu Siti ini, belakangan diketahui karena beliau menuai keberhasilan atas penanganan Pandemi Flu Burung di medio tahun 2000an awal. Seperti kita ketahui bagi Pandemi flu burung yang juga diawali di negeri Tiongkok ini cukup merebak, juga ke Indonesia.
        Dari buku yang menceritakan bagaimana Ibu Sitti sebagai Menkes saat itu menangani flu burung, World Health Organisation (WHO) mengeluarkan perintah ke Indonesia agar menetapkan flu burung sebagai pandemi, namun beliau menolak, menolak pemberian vaksin dari WHO, dan menyatakan bahwa flu burung tidak menular antar manusia.
        Selain itu beliau juga melakukan penelitian mandiri bagi Indonesia, dan menciptakan metode tersendiri yang berbeda dengan anjuran WHO serta standar yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Intinya tidak mau didikte WHO.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

        Hasilnya apa ?, kejadian flu burung lebih cepat teratasi, tidak sampai menjadi pandemi dan semua sediakala normal sepeti biasa. Namun keberhasilan ini, bukan dianggap prestasi bagi industri farmasi yang dikendalikan WHO. Karena keberhasilan ini, tentunya WHO gagal menjual vaksinnya ke Indonesia, artinya dari segi bisnis sangat merugikan.
        Keberhasilan penanganan flu burung dimasa itu juga didukung oleh banyak dokter, media yang belum terafilisi politik, dan masyarakat yang percaya atas peran pemerintah. Sehingga semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ibu Siti.
        Kerugian yang didapat inilah, yang diduga dijadikan ‘kambing hitam’ atas penghukuman beliau dalam kasus kriminalisasi korupsi pengadaan alat kesehatan.
          Jika penasaran, silahkan download dan baca Buku Ibu Siti Fadhilah Supari - Saatnya Dunia Berubah. Pada Medio tahun 2005 - 2006, WHO memerintahkan Presiden SBY untuk menarik buku tersebut dari peredaran, sehingga mustahil menemukan seri cetak dari buku ini. Penulis membagikan secara cuma - cuma bagi pembaca sekalian.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">


    Download   :
       *   Saatnya Dunia Berubah - Tangan Tuhan Dibalik Virus 
           Flu Burung | Size : 4,31 MB
           |[Userscloud]|[Depositfiles]|

        Begitupula yang Penulis duga atas ‘Penenggelaman’ Menkes saat ini dr. Terawan. Penulis beranggapan, naluri dokter yang dirasakan Ibu Siti dahulu dan Pak Terawan saat ini adalah sama. Beliau pasti sudah mempunyai metode tersendiri dalam penanganan Covid 19 di Indonesia yang masih satu keluarga dengan flu burung di masa Ibu Siti ini.
        Tapi apa, bisa jadi metode beliau tidak menarik dari segi bisnis, dan cenderung merugikan bagi industri farmasi. Hal ini yang membuat pemerintah tidak setuju dan memilih menunjuk Kepala BNPB sebagai ketua gugus tugas penanganan Covid 19 serta Ahmad Yurianto sebagai juru bicaranya.
        Jika menjadi rakyat yang cermat, pasti sudah berpikir sejak awal, Mengapa Ketua gugus tugasnya bukan Menkes yang berlatak belakang Dokter ?, malahan seseorang yang berlatar belakang militer. Tentu cara pandang penanganannya menjadi bias.
        Selain itu, dr. Terawan ini tidak disukai oleh WHO dalam hal ini organisasi IDI, Ikatan Dokter Indonesia, karena sudah pasti IDI sangat patuh dan tunduk pada anjuran WHO.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

        Ingat metode ‘Cuci Otak’nya dr. Terawan yang dahulu sempat booming. Metode berbiaya murah dibandingkan kemoterapi yang tidak ada habisnya dan tidak ada ujungnya karena harus terus-menerus dilakukan. Metode dr. Terawan memberikan hasil sembuh lebih tinggi, diakui Jerman, tapi apa?.
        Karena murah, tidak sejalan dengan konsep bisnis, metode beliau dikecam oleh IDI. Coba dibayangkan, jika seorang dokter berbakat tidak disukai organisasi tempatnya bernaung, namun tiba-tiba jadi menteri, siapa coba yang tidak iri?.
        Melihat penanganan Covid 19 saat ini semuanya seperti ditutupi. Jika memang niatnya menghadapi Covid 19, mengapa mayit yang divonis positif Covid 19 buru – buru dikuburkan dengan alasan mencegah penyebaran ?.
        Mengapa tidak dilakukan autopsy, dicari penyebab kematiannya, yang diserang apa, proses menjangkitnya seperti apa ?. sampai saat ini semuanya serba kira – kira, langsung vonis Covid 19, sebarkan ketakutan hanya petugas medis yang boleh mengubur dengan protokol yang benar, apa benar mati karena Covid 19 ?. Seakan ada yang ditutupi, dan membiarkan Covid 19 ini ttetap ada.
        Dari hasil diskusi Penulis dengan tenaga kesehatan, TIDAK ADA pasien mati murni karena Covid 19, semuanya mati karena penyakit penyerta, seperti asma, pneumonia, dan sebagainya. Tapi mengapa penyakit penyerta ini tidak pernah dipublikasikan jika ada pasien yang meninggal ?.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

        Langsung vonis ‘Mati karena Covid 19’, media mengamini dengan memberitakan berulang – ulang setiap hari, dicekoki berita Covid 19. Dengan tujuan membuat semua orang percaya.
        Ingat, kebohongan yang diberitakan secara terus menerus, akan membuat orang berpikir itulah suatu kebenaran.
        ------------------
        Schrijver.
        Copyright. ©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
        Subscribe.

    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad