Kampanye Gagal di Forum Internasional
Kairo, 6 Oktober 1964.
Presiden Sukarno tampil dalam Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok yang ke-2. Dia
menyerukan perlawanan menentang kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Seperti
biasa, pidatonya selalu mengesankan dan bersemangat. Di hadapan pemimpin dari
47 negara peserta konfrensi, Sukarno menyampaikan buah pikirannya dengan
berapi-api.
“Kita perlu memupuk dan memperkuat solidaritas di antara kita. Perjuangan - ya, perjuangan, perjuangan! Perjuangan melawan imperialisme di masa pembangunan bangsa saat ini sama pentingnya bagi kita dengan perjuangan untuk pembebasan yang mengarah pada kemerdekaan nasional kita,” ujar Sukarno dalam pidatonya berjudul “The Era of Confrontation”.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Pada kesempatan itulah Sukarno memperkenalkan ideologi non-blok yang baru.
Menurutnya kekuatan dunia tidak lagi terbagi dalam kontestasi Blok Barat dengan
Blok Timur. Namun Sukarno memetakan konstelasi global antara kelompok negara
yang baru merdeka – dimana non-blok ada didalamnya– dengan negara mapan yang
lekat dengan predikat imperialis. Konsep inilah yang diperkenalkan Sukarno
dengan istilah NEFO (New Emerging Force) dan OLDEFO (Old Established Force).
Bersilang dengan India
Menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam Twenty Years Indonesia
Foreign Policy 1945—1965, pidato Sukarno di Kairo sejatinya
memperlihatkan semangat anti-Barat. Kubu Barat yang disebut Sukarno sebagai
OLDEFO merupakan ancaman bagi negara-negara baru. Ancaman itu berupa intervensi
yang mencampuri urusan kemerdekaan negara-negara lain. Campur tangan dan
dominasi itulah yang dikecam oleh Sukarno.
“Inilah kesempatan baginya (Sukarno) untuk menekankan dengan kata-kata yang
kuat bahwa tujuan utama dari negara-negara non-blok adalah untuk menghilangkan
tatanan dunia lama sebagaimana diwakili oleh kekuatan kolonial dan imperial,”
tulis Ide Anak Agung Gde Agung.
Di balik agitasinya, Sukarno ternyata menyisipkan agenda sehubungan dengan
kampanye “Ganyang Malaysia”. Sebagaimana diketahui, Indonesia sedang
bersengketa dengan Malaysia. Dalam upaya mengganyang Malaysia, Indonesia berhadapan
dengan Inggris yang mendukung pembentukan negara federasi Malaysia.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Selain itu, Sukarno juga secara terbuka menyerang doktrin hidup
berdampingan sebagai ideologi non-blok yang menyimpang. Gagasan ini dikemukakan
oleh Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru pada permulaan tahun 1960.
Dalam konsep hidup berdampingan, Nehru menampilkan wajah moderat sebagai
tekanan moral terhadap kekuatan besar. Dengan demikian, perdamaian dunia dapat
diwujudukan bersama-sama meskipun dalam ketidaksetaraan. India berada di jalur
akomodatif karena tergabung dalam The Commonwealth,
negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris yang terikat afiliasi dengan
negeri koloninya.
Kritik Sukarno terhadap jalan yang diambil India cukup frontal. Sukarno
mengatakan bahwa hidup berdampingan tidak dapat diwujudkan dalam
ketidaksetaraan. Hidup berdampingan itu harus seimbang, ekual, dan tidak
abstrak. Menurutnya koeksistensi antara negara-negara berkembang dan negara
imperialis terjadi apabila kedua kubu memiliki kekuatan yang sama. Bagi
negara-negara berkembang, kekuatan yang setara itu hanya dapat diperoleh
melalui solidaritas diantara mereka.
Seruan Sukarno untuk bersatu melawan dominasi OLDEFO memang ada
pendukungnya. Namun propaganda Sukarno menjadi kurang begitu menggigit karena
prinsip hidup berdampingan juga diterima dalam komunike akhir konferensi.
Sementara itu, upaya Sukarno menggalang solidaritas negara sahabat untuk
mengganyang Malaysia terbilang gagal.
“Karena hanya mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia-Afrika yang
kurang memiliki pengaruh,” kata sejarawan Universitas Indonesia Linda Sunarti
kepada Historia.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Ekses lain dari kampanye politik luar negeri Sukarno adalah kian tajamnya
perbedaan prinsip antara Indonesia dan India. Menurut Linda, konsep Sukarno
yang membagi kekuatan dunia terkesan mendikte bagi India. Akibatnya, India
sebagai salah satu negara sahabat yang berpengaruh bahkan mengambil jarak dari
Indonesia.
Menggandeng Tiongkok
Selain Pakistan, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah negara yang aktif
menyokong perkara Indonesia soal Malaysia. Sukarno segera mengalihkan
persekutuannya terhadap Tiongkok – negeri Asia yang mulai tampil sebagai
kekuatan besar – setelah gagal menuai dukungan maksimal di Kairo. Kedatangan
Menteri Luar Negeri Tiongkok Marsekal Chen Yi, ke Indonesia pada awal Desember
1964, semakin memantapkan poros Peking-Jakarta.
Pada 3 Desember 1964, Indonesia dan Tiongkok mengeluarkan pernyataan
bersama untuk saling memperkuat politik luar negeri masing-masing. Tiongkok
kembali menegaskan dukungannya terhadap perjuangan Indonesia untuk mengganyang
Malaysia. Keduanya sepakat bahwa proyek neo-kolonialis ini mengancam perdamaian
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, melumpuhkan pertumbuhan dan
perkembangan mereka. Dengan demikian, politik luar negeri Indonesia semakin
condong ke kiri atau Blok Sosialis.
Menurut Linda Sunarti, Tiongkok pada awalnya ragu mendukung sikap
konfrontatif Indoneisa terhadap Malaysia. Tiongkok sebenarnya dilematis karena
hubungannya dengan Inggris lebih bersahabat ketimbang Amerika Serikat. Selain
itu, Tiongkok juga punya kepentingan terhadap Hongkong, pusat perdagangan yang
masih dikuasai Inggris sebagai jendela ke dunia internasional.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
“Namun, di sisi lain Tiongkok sangat bersemangat membantu PKI untuk
mendapatkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebagai partai komunis terbesar di
luar Blok Sosialis, kedudukan PKI sangat penting bagi Tiongkok dalam
persaingannya dengan Uni Soviet untuk merebut simpati dan dukungan dari partai
komunis lain,” kata Linda Sunarti.
Seturut dengan arsip-arsip luar negeri Tiongkok yang diteliti
sejarawan asal Ceko Victor Miroslav Vic, Tiongkok bahkan menyokong ambisi
radikal Sukarno. Beberapa diantaranya seperti dukungan terhadap Indonesia untuk
keluar dari PBB; niatan Indonesia sebagai pemimpin negara non-blok dan
Asia-Afrika; rencana mendirikan markas besar NEFO di Jakarta. Termasuk pula
rencana pembentukan tentara rakyat untuk mengganyang Malaysia.
"Cina bersedia untuk membantu Indonesia jika diserang oleh negara
asing, dan dengan cepat akan memberikan senjata dan bantuan militer lainnya,
dan bahwa kedua negara harus menambah kerjasama mereka dalam perjuangan the New
Emerging Forces," tulis Vic dalam Kudeta 1 Oktober 1965:
Sebuah Studi Tentang Konspirasi.
Pada Maret 1965, Konferensi Negara Islam Asia-Afrika menolak usulan
Tiongkok untuk mendukung Indonesia dalam konfrontasi Malaysia. Sukarno tidak
berhenti dalam usahanya menggalang kekuatan diantara negara sahabat. Pada
18 April 1965, Indonesia menghelat persiapan Konferensi Asia Afrika II di
Jakarta.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Dalam pembicaraan itu, Sukarno sempat pula bersitegang dengan dengan
Presiden Mesir, Gammal Abdul Nasser. Silang pendapat terjadi lantaran
Sukarno berkeinginan untuk memindahkan sekretariat organisasi Asia-Afrika dari
Kairo ke Jakarta. Lagi pula, rencana persiapan konferensi yang akan
diselenggarakan di Aljazair pada 25 Juni itu sepertinya tidak lagi menarik.
Negara peserta yang datang ke Jakarta hanya 30 negara saja.
Sayangnya, Konferensi Asia Afrika II batal digelar karena Presiden Aljazair
Ahmad Ben Bella dikudeta pada 20 Juni 1965, lima hari sebelum
penyelenggaraan konferensi. Di sisi lain, konflik Indonesia dengan Malaysia
memasuki masa krisis. Sukarno kehilangan momentum untuk kampanye Ganyang
Malaysia yang tentu saja sangat dia butuhkan. Meski demikian, direncanakan
konfrensi itu hanya akan ditunda hingga 5 November 1965.
Namun, sebelum Sukarno naik podium dalam hajatan itu, terjadilah petaka di
Jakarta. Gerakan 30 September meletus di malam berdarah, dini hari 1 Oktober
1965. Harapan Sukarno untuk unjuk gigi lagi di forum dunia pada akhirnya
benar-benar kandas tak berbekas.
---------------
Schrijver.
Copyright.
©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.