Kampanye Gagal di Forum Internasional - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    Kampanye Gagal di Forum Internasional


    Kairo, 6 Oktober 1964. Presiden Sukarno tampil dalam Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok yang ke-2. Dia menyerukan perlawanan menentang kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Seperti biasa, pidatonya selalu mengesankan dan bersemangat. Di hadapan pemimpin dari 47 negara peserta konfrensi, Sukarno menyampaikan buah pikirannya dengan berapi-api.
    Presiden Sukarno bersama Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru, New York 29 September 1960 menjelang Sidang Majelis Umum PBB ke-15. Ilustrasi. Sumber : https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/attachment/77971881866235251317.large

    “Kita perlu memupuk dan memperkuat solidaritas di antara kita. Perjuangan - ya, perjuangan, perjuangan! Perjuangan melawan imperialisme di masa pembangunan bangsa saat ini sama pentingnya bagi kita dengan perjuangan untuk pembebasan yang mengarah pada kemerdekaan nasional kita,” ujar Sukarno dalam pidatonya berjudul “The Era of Confrontation”.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    Pada kesempatan itulah Sukarno memperkenalkan ideologi non-blok yang baru. Menurutnya kekuatan dunia tidak lagi terbagi dalam kontestasi Blok Barat dengan Blok Timur. Namun Sukarno memetakan konstelasi global antara kelompok negara yang baru merdeka – dimana non-blok ada didalamnya– dengan negara mapan yang lekat dengan predikat imperialis. Konsep inilah yang diperkenalkan Sukarno dengan istilah NEFO (New Emerging Force) dan OLDEFO (Old Established Force).
    Bersilang dengan India
    Menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam Twenty Years Indonesia Foreign Policy 1945—1965, pidato Sukarno di Kairo sejatinya memperlihatkan semangat anti-Barat. Kubu Barat yang disebut Sukarno sebagai OLDEFO merupakan ancaman bagi negara-negara baru. Ancaman itu berupa intervensi yang mencampuri urusan kemerdekaan negara-negara lain. Campur tangan dan dominasi itulah yang dikecam oleh Sukarno.
    “Inilah kesempatan baginya (Sukarno) untuk menekankan dengan kata-kata yang kuat bahwa tujuan utama dari negara-negara non-blok adalah untuk menghilangkan tatanan dunia lama sebagaimana diwakili oleh kekuatan kolonial dan imperial,” tulis Ide Anak Agung Gde Agung.
    Di balik agitasinya, Sukarno ternyata menyisipkan agenda sehubungan dengan kampanye “Ganyang Malaysia”. Sebagaimana diketahui, Indonesia sedang bersengketa dengan Malaysia. Dalam upaya mengganyang Malaysia, Indonesia berhadapan dengan Inggris yang mendukung pembentukan negara federasi Malaysia.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    Selain itu, Sukarno juga secara terbuka menyerang doktrin hidup berdampingan sebagai ideologi non-blok yang menyimpang. Gagasan ini dikemukakan oleh Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru pada permulaan tahun 1960. Dalam konsep hidup berdampingan, Nehru menampilkan wajah moderat sebagai tekanan moral terhadap kekuatan besar. Dengan demikian, perdamaian dunia dapat diwujudukan bersama-sama meskipun dalam ketidaksetaraan. India berada di jalur akomodatif  karena tergabung dalam The Commonwealth, negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris yang terikat afiliasi dengan negeri koloninya.  
    Kritik Sukarno terhadap jalan yang diambil India cukup frontal. Sukarno mengatakan bahwa hidup berdampingan tidak dapat diwujudkan dalam ketidaksetaraan. Hidup berdampingan itu harus seimbang, ekual, dan tidak abstrak. Menurutnya koeksistensi antara negara-negara berkembang dan negara imperialis terjadi apabila kedua kubu memiliki kekuatan yang sama. Bagi negara-negara berkembang, kekuatan yang setara itu hanya dapat diperoleh melalui solidaritas diantara mereka.
    Seruan Sukarno untuk bersatu melawan dominasi OLDEFO memang ada pendukungnya. Namun propaganda Sukarno menjadi kurang begitu menggigit karena prinsip hidup berdampingan juga diterima dalam komunike akhir konferensi. Sementara itu, upaya Sukarno menggalang solidaritas negara sahabat untuk mengganyang Malaysia terbilang gagal. 
    “Karena hanya mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia-Afrika yang kurang memiliki pengaruh,” kata sejarawan Universitas Indonesia Linda Sunarti kepada Historia.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    Ekses lain dari kampanye politik luar negeri Sukarno adalah kian tajamnya perbedaan prinsip antara Indonesia dan India. Menurut Linda, konsep Sukarno yang membagi kekuatan dunia terkesan mendikte bagi India. Akibatnya, India sebagai salah satu negara sahabat yang berpengaruh bahkan mengambil jarak dari Indonesia.
    Menggandeng Tiongkok
    Selain Pakistan, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah negara yang aktif menyokong perkara Indonesia soal Malaysia. Sukarno segera mengalihkan persekutuannya terhadap Tiongkok – negeri Asia yang mulai tampil sebagai kekuatan besar – setelah gagal menuai dukungan maksimal di Kairo. Kedatangan Menteri Luar Negeri Tiongkok Marsekal Chen Yi, ke Indonesia pada awal Desember 1964, semakin memantapkan poros Peking-Jakarta.    
    Pada 3 Desember 1964, Indonesia dan Tiongkok mengeluarkan pernyataan bersama untuk saling memperkuat politik luar negeri masing-masing. Tiongkok kembali menegaskan dukungannya terhadap perjuangan Indonesia untuk mengganyang Malaysia. Keduanya sepakat bahwa proyek neo-kolonialis ini mengancam perdamaian negara-negara di kawasan Asia Tenggara, melumpuhkan pertumbuhan dan perkembangan mereka. Dengan demikian, politik luar negeri Indonesia semakin condong ke kiri atau Blok Sosialis.  
    Menurut Linda Sunarti, Tiongkok pada awalnya ragu mendukung sikap konfrontatif Indoneisa terhadap Malaysia. Tiongkok sebenarnya dilematis karena hubungannya dengan Inggris lebih bersahabat ketimbang Amerika Serikat. Selain itu, Tiongkok juga punya kepentingan terhadap Hongkong, pusat perdagangan yang masih dikuasai Inggris sebagai jendela ke dunia internasional.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    “Namun, di sisi lain Tiongkok sangat bersemangat membantu PKI untuk mendapatkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebagai partai komunis terbesar di luar Blok Sosialis, kedudukan PKI sangat penting bagi Tiongkok dalam persaingannya dengan Uni Soviet untuk merebut simpati dan dukungan dari partai komunis lain,” kata Linda Sunarti.
    Seturut dengan  arsip-arsip luar negeri Tiongkok yang diteliti sejarawan asal Ceko Victor Miroslav Vic, Tiongkok bahkan menyokong ambisi radikal Sukarno. Beberapa diantaranya seperti dukungan terhadap Indonesia untuk keluar dari PBB;  niatan Indonesia sebagai pemimpin negara non-blok dan Asia-Afrika; rencana mendirikan markas besar NEFO di Jakarta. Termasuk pula rencana pembentukan tentara rakyat untuk mengganyang Malaysia.
    "Cina bersedia untuk membantu Indonesia jika diserang oleh negara asing, dan dengan cepat akan memberikan senjata dan bantuan militer lainnya, dan bahwa kedua negara harus menambah kerjasama mereka dalam perjuangan the New Emerging Forces," tulis Vic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi.
    Pada Maret 1965, Konferensi Negara Islam Asia-Afrika menolak usulan Tiongkok untuk mendukung Indonesia dalam konfrontasi Malaysia. Sukarno tidak berhenti dalam usahanya menggalang kekuatan diantara negara sahabat.  Pada 18 April 1965, Indonesia menghelat persiapan Konferensi Asia Afrika II di Jakarta.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    Dalam pembicaraan itu, Sukarno sempat pula bersitegang dengan dengan Presiden Mesir, Gammal Abdul Nasser. Silang pendapat terjadi  lantaran Sukarno berkeinginan untuk memindahkan sekretariat organisasi Asia-Afrika dari Kairo ke Jakarta. Lagi pula, rencana persiapan konferensi yang akan diselenggarakan di Aljazair pada 25 Juni itu sepertinya tidak lagi menarik. Negara peserta yang datang ke Jakarta hanya 30 negara saja.  
    Sayangnya, Konferensi Asia Afrika II batal digelar karena Presiden Aljazair Ahmad Ben Bella dikudeta pada  20 Juni 1965, lima hari sebelum penyelenggaraan konferensi. Di sisi lain, konflik Indonesia dengan Malaysia memasuki masa krisis. Sukarno kehilangan momentum untuk kampanye Ganyang Malaysia yang tentu saja sangat dia butuhkan. Meski demikian, direncanakan konfrensi itu hanya akan ditunda hingga 5 November 1965. 
    Namun, sebelum Sukarno naik podium dalam hajatan itu, terjadilah petaka di Jakarta. Gerakan 30 September meletus di malam berdarah, dini hari 1 Oktober 1965. Harapan Sukarno untuk unjuk gigi lagi di forum dunia pada akhirnya benar-benar kandas tak berbekas.
        Oleh Martin Sitompul
        ---------------
        Schrijver.
        Copyright. ©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
        Subscribe.


    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad