Mahasiswa Tanggapi Kebijakan Kampus Merdeka Ala Nadiem Makarim
tirto.id
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan
program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka pada Jumat (24/1/2020) kemarin. Namun,
nyatanya program ini menuai sejumlah catatan dari mahasiswa dan perguruan
tinggi.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia
Fajar Adi Nugroho ragu jangka waktu dua tahun yang diberikan bagi perguruan
tinggi untuk melakukan penyesuaian akan mencukupi.
Pasalnya, program ini akan mengubah cukup banyak hal
fundamental dalam pendidikan tinggi, salah satunya kurikulum. Selain itu, Fajar
menilai mesti ada pengaturan yang jelas bagi perusahaan yang membuka pemagangan
bagi mahasiswa nantinya. Ia khawatir, program magang yang dicanangkan justru
menjadi alat bagi industri untuk mendapatkan tenaga kerja murah.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
"Tanggung jawab penyesuaian ini seharusnya tidak hanya
dibebankan pada perguruan tinggi, tetapi juga lembaga non-pendidikan untuk
melindungi mahasiswa pada saat melakukan salah satu bentuk pembelajaran
sehingga tidak dieksploitasi industri," kata Fajar lewat keterangan
tertulisnya kepada Tirto, Rabu (29/1/2020).
Presiden BEM Universitas Gadjah Mada (UGM) Sulthan Farras
menilai kebijakan baru Menteri Nadiem sangat kental dengan pendekatan pasar,
yakni mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri.
Ia memahami pendekatan Nadiem ini untuk menggenjot
pertumbuhan ekonomi menjadi fokus utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada
periode keduanya.
Namun, sayangnya, Nadiem tidak menyentuh soal ketimpangan
kualitas perguruan tinggi. Ketimpangan itu setidaknya terlihat dari kesenjangan
skor antarkampus dalam statistik soal rangking kampus nasional.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Sebab, ia menyayangkan Nadiem yang sama sekali tidak
menyentuh aspek tersebut. Padahal, jika kebijakan ini diterapkan pada kondisi
perguruan tinggi yang timpang kualitasnya, maka hasilnya tidak akan maksimal.
"Bagi kami yang lebih penting adalah mempersiapkan
pondasi sebaik mungkin, mulai dari mereduksi kesenjangan kualitas antar
universitas di Indonesia, dengan mengakselerasi peningkatan kapasitas tenaga
pendidik, pembaruan metode pengajaran, dan pembangunan fasilitas pendidikan
sebagai penunjang," kata Sulthan lewat keterangan tertulis yang diterima
Tirto pada Kamis (28/1/2020).
Setidaknya ada empat aspek yang akan dirombak melalui program
baru Nadiem.
Pertama, kampus memiliki otonomi membuka program studi baru
asalkan kampus itu memiliki akreditasi A dan B. Sebelumnya, yang bisa membuka
program studi baru hanya kampus yang sudah berbadan hukum (perguruan tinggi
negeri badan hukum/PTN BH) jumlahnya 11, per April tahun lalu.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Selain soal akreditasi, kampus bisa program studi baru jika
telah menjalin kerja sama dengan perusahaan, organisasi nirlaba, institusi
multilateral, atau universitas peringkat top 100 QS dan bukan di bidang
kesehatan dan pendidikan.
Perubahan kedua terkait proses akreditasi. Lewat Kampus
Merdeka, akreditasi "bersifat otomatis." Sementara saat ini,
akreditasi wajib dilakukan setiap lima tahun sekali.
Ketiga, Nadiem akan mempermudah perubahan dari PTN Badan
Layanan Umum (BLU) menjadi PTN BH. Sebelumnya, yang dapat menjadi PTN BH hanya
perguruan tinggi berakreditasi A.
Poin keempat terkait sistem kredit semester (SKS). Poin ini
berupaya untuk mengubah "definisi SKS," kata Nadiem, yang tidak lagi diartikan
sebagai "jam belajar," tapi "jam kegiatan."
Dengan sistem baru ini, mahasiswa berhak mengambil mata
kuliah di luar program studi sebanyak dua semester atau setara 40 SKS. Karena
bentuknya kini jadi 'jam kegiatan', SKS di sini maknanya lebih luas: ia tak
hanya berbentuk belajar di kelas, tapi juga termasuk magang, pertukaran
pelajar, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah
terpencil.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Rektor Universitas Terbuka (UT) Ojat Darojat pun menyampaikan
dukungannya terhadap program ini. Namun, di saat yang sama ia mengaku tengah
memutar otak untuk menerapkan program itu di kampusnya, sebab perkuliahan di UT
menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh.
Selain itu, berbeda dengan kampus lain, mahasiswa UT umumnya
telah bekerja dan menikah sehingga waktu yang tersedia tidak lebih fleksibel
dari mahasiswa lain.
"Kami sedang merancang aturan untuk penerapan kebijakan
Kampus Merdeka ini. Hal itu dikarenakan harus ada rambu-rambu yang mengatur
magang mahasiswa tersebut," kata Ojat sebagaimana dikutip Antara, Senin
(27/1/2020).
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut Kampus Merdeka
adalah pola baru dalam sistem pembelajaran pendidikan tinggi di Indonesia
sehingga akan ada banyak hal yang perlu disesuaikan mulai dari kurikulum, dosen,
sistem informasi, dll.
Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik Hatma Suryatmojo
menjelaskan pada tahun 2016 UGM meluncurkan Kerangka Dasar Kurikulum (KDK)
sebagai panduan pengembangan kurikulum di seluruh program studi. Seiring
inovasi hasil revolusi industri 4.0, UGM menyesuaikan KDK dengan membentuk tim
perumus kurikulum pada pertengahan 2019.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Tim ini melakukan kajian mengenai berbagai kebijakan,
kebutuhan keterampilan, dan kompetensi, fleksibilitas belajar, sinergi bersama
mitra untuk pengembangan kompetensi dan pemanfaatan teknologi digital untuk
pembelajaran dan diseminasi.
Program baru Menteri Nadiem menjadi masukan baru bagi tim
tersebut.
"Hambatan tentu selalu ada, namun dengan kesempatan yang
diberikan oleh Kemendikbud harus direspons sebagai sebuah peluang untuk
melakukan loncatan besar menuju kemandirian dan keunggulan UGM di kancah
nasional dan global,” kata Hatma lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto
pada Kamis (28/1/2020).
Penyesuaian juga akan dilakukan Universitas Airlangga
(Unair). Rektor Unair Mohammad Nasih mengaku akan merancang kurikulum lintas
multidisiplin agar mahasiswa ilmu sosial bisa belajar ilmu eksakta, dan
mahasiswa ilmu eksak juga bisa mengerti ilmu sosial.
Selain itu, Unair akan mengadakan mata kuliah berbasis
digital dan program magang di luar negeri atau pertukaran pelajar yang akan
menggantikan tugas akhir. Namun, dengan catatan mahasiswa sudah mengambil semua
mata kuliah wajib selama masa perkuliahan dan dapat mematuhi syarat dan
ketentuan yang berlaku.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
"Mahasiswa bisa belajar tanpa adanya ruang dan waktu.
Itu malah lebih terlihat flkesibel. Namun, kebijakan itu jangan diartikan bebas
sebebas-bebasnya. Mahasiswa wajib mengikuti peraturan dari kampus yaitu teratur
dan kompeten," kata dia sebagaimana dikutip Antara pada Selasa
(27/1/2020).
Sementara itu, Rektor Universitas IPB Arif Satria. Melalui
keterangan tertulis Arif menyebut kebijakan Nadiem akan meningkatkan
fleksibilitas mahasiswa untuk belajar lintas disiplin. Artinya, ke depan
mahasiswa bisa meramu mata kuliah yang diambil sesuai dengan kebutuhannya dan
tidak terpaku pada program studi yang diambil.
"Pembelajaran ke depan adalah personalized yang disesuaikan
dengan minat, bakat dan kebutuhan mahasiswa," kata Arif lewat keterangan
tertulis yang diterima Tirto pada Rabu (29/1/2020).
Selain itu, penekanan pada magang dan program lapangan
lainnya dinilai akan mendekatkan mahasiswa dengan realita yang ada di masyarakat.
Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan kolaborasi dan pemecahan
masalah.
IPB, lanjut Arif, tidak akan terganggu dengan program baru
tersebut. Pasalnya, kampus tersebut telah terbiasa memberikan fleksibilitas
kepada mahasiswanya dalam belajar. Sejak 2005 kampus pertanian itu telah
menerapkan kurikulum mayor minor sehingga mahasiswa bisa mengambil program
studi pendukung bahkan dari kampus di luar negeri melalui skema pertukaran
pelajar atau kelas musim panas.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
IPB juga telah mengembangkan kurikulum baru yang akan berlaku
Agustus 2020. Lewat kurikulum itu kampus merancang agar mahasiswa mempelajari
tiga literasi baru yakni literasi data, literasi teknologi, dan literasi
manusia. Tugas akhir pun dikembangkan dengan metode capstone sehingga mahasiswa
terbiasa berkolaborasi lintas disiplin.
"Kemampuan ini kemudian diasah melalui integrasi
pendidikan kurikuler dan kegiatan kemahasiswaan untuk memperkuat karakter dalam
rangka mewujudkan mahasiswa yang memiliki sifat pembelajar yang lincah dan
tangguh," kata Arif.
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri
Sumber : Baca selengkapnya di artikel "Mahasiswa Tanggapi Kebijakan Kampus Merdeka Ala Nadiem Makarim", https://tirto.id/evRo
Sumber : Baca selengkapnya di artikel "Mahasiswa Tanggapi Kebijakan Kampus Merdeka Ala Nadiem Makarim", https://tirto.id/evRo
------------------
Schrijver.
Yudha BJ Nugroho.
Copyright. 2020.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.