Iuran BPJS Naik, Tepatkah Alasan untuk Tutupi Defisit ?
Oleh : Yudha BJ Nugroho
Kabar naiknya iuran Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk semua kelas nampaknya bukan kabar burung
semata. Tiga kelas BPJS, semuanya menaikkan tarif iuran 100 %. Hal ini
mengundang banyak reaksi dari berbagai kalangan. Apalagi pengguna kelas tiga
yang banyak diisi oleh masyarakat menengah kebawah.
Iuran yang naik 100% ini dirasa sangat memberatkan.
Apalagi pemerintah mewacanakan untuk menagih door to door bagi pelanggan
yang menunggak.
Bagi pelanggan BPJS yang didata sebagai
anggota Penerima Bantuan Iuran (PBI), mungkin sedikit bernafas lega, begitu
pula bagi pelanggan yang terdaftar sebagai Penerima Upah.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Pelanggan BPJS Kesehatan Mandirilah yang
akan merasakan dampak secara langsung, karena mereka terdaftar untuk iuran keanggotaan
secara sukarela.
Jika ditelisik secara historis, BPJS Kesehatan
ini merupakan kelanjutan dari asuransi yang pernah eksis dimasa Orde Baru dan
awal reformasi yaitu Asuransi Kesehatan (ASKES). ASKES ini keanggotaannya diisi
oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan status wajib, sehingga manfaat yang
diterima hanya dirasakan oleh PNS saja, bukan masyarakat umum.
Nah, dimasa 5 tahun terakhir inilah ASKES
diupayakan untuk dapat diisi pula keanggotaannya oleh masyarakat umum, sehingga
manfaatnya dapat dirasakan lebih luas. Banyak skema untuk menarik pelanggan baru
ini, jika pelanggan penerima upah, hanya tinggal menambahkan dari administrasi
kantor tempat bekerja saja.
Untuk masyarakat biasa ada skema keanggotaan
mandiri dan keanggotaan bantuan Pemerintah Daerah (Pemda) bagi masyarakat
kurang mampu. Sebenarnya keanggotaan mandiri inilah yang agak sulit bagi
masyarakat untuk mendaftar secara sukarela, karena mereka merasa enggan
membayar jika dalam kondisi sehat.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Seiring berjalannya waktu, pemerintah pun
gencar melakukan propaganda melalui berbagai media, untuk menarik pendaftar
baru dari kenggotaan mandiri, dengan menjelaskan berbagai kemudahan yang
didapat jika menjadi pelanggan BPJS Kesehatan.
Namun entah mengapa setelah saat ini pendaftar
peserta BPJS Kesehatan Mandiri sudah merasa perlu untuk menjadi anggota,
apalagi kebanyakan diisi oleh peserta kelas tiga dengan ekonomi menengah
kebawah, pemerintah malah berencana untuk menaikkan jumlah nominal iuran
wajibnya di semua kelas.
Inilah yang membuat pelanggan BPJS Kesehatan
kelas tiga ini dilema, apakah mampu untuk membayar iuran, ditengah himpitan ekonomi
keluarga yang juga sulit. Jika melepas keanngotaanpun tidak bisa, karena status
keanggotaan BPJS Mandiri ini menjadi sangat mengikat. Bahkan jika menunggak,
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberi
sanksi berupa penundaan atau sedikit dipersulit ketika membutuhkan pelayanan publik,
seperti perpanjangan SIM, pembuatan Paspor, dan pengajuan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB).
Pemerintah berdalih menaikkan iuran BPJS
ini karena anggaran BPJS Kesehatan yang defisit. Sebenarnya alasan ini kurang
bisa diterima jika defisitnya anggaran justru pelanggan yang dibebankan, sementara
kewajiban negara adalah memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat secara
keseluruhan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini juga
tidak masuk akal ditengah rencana pemerintah pusat memindahkan ibukota dengan
anggaran triliyunan rupiah. Mengapa pemerintah begitu getol memindahkan ibukota
sementara masih banyak PR (Pe – eR) yang lebih prioritas. Bukankah akan lebih
baik jika anggaran triliyunan rupiah itu digunakan untuk menutupi kas BPJS
Kesehatan yang ‘katanya’ defisit ?.
Menurut penulis, jika ditanya mengapa BPJS Kesehatan
‘katanya’ defisit ini ada dua analisa.
Pertama, karena database awal BPJS
Kesehatan ini dari awal sudah bobrok. Pemerintah tentu menganggarkan
dana iuran berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar, dan jumlah peserta yang
tertanggung. Nah jika dari awal saja antara peserta yang terdaftar jumlahnya
lebih sedikit dari jumlah peserta yang tertanggung, tentulah dana pasti
defisit. Besar pengeluaran daripada pendapatan.
Kedua, karena iuran maksimal BPJS Kesehatan
tidak sinkron dengan fasilitas kesehatan yang tersedia. BPJS Kesehatan hanya
menyediakan tiga kelas iuran rawat, sementara fasilitas kesehatan seperti Rumah
Sakit (RS) menyediakan kelas rawat hingga VIP, bahkan VVIP.
Dibeberapa RS yang saya ketahui, naik kelas
rawat ini dapat dilakukan di RS, misalnya, seorang pasien terdaftar di kelas 1,
sementara di RS yang dituju, kelas 1 sudah penuh, hanya tersedia sisa VIP,
tentulah seorang pasien tersebut dirawat di kelas VIP.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Memang ada beberapa persyaratan dalam naik
kelas ini di RS, tapi mengapa BPJS Kesehatan tidak sekalian buka kelas baru
tambahan, Kelas VIP atau VVIP. Tentu ada masyarakat Indonesia yang mampu bayar,
seperti kalangan pejabat negara, public figure yang penghasilannya
ratusan juta, dan masih banyak lagi.
Daripada menaikkan iuran bagi pengguna BPJS
kelas menengah kebawah, bukankah lebih baik membuka kelas baru, dengan iuran
yang lebih tinggi, dan menyasar pada kalangan menengah keatas.
Semboyan ‘Dengan Gotong – Royong semua
Tertolong’, seakan suatu saat tidak berlaku, karena yang ikut ‘Gotong Royong Belum
Tentu Tertolong’
--Yudha
BJ Nugroho--Ikuti untuk postingan terbaru Subscribe
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.