KKN di Desa Penari ( Versi Widya )
Cerita Ini begitu Viral Beberapa minggu ini, disini akan saya coba posting ulang berdasarkan sumber dari link yang saya dapatkan :
https://threadreaderapp.com/thread/1143116541480726531.html
Silahkan membaca,
Malam ini, gw akan
bercerita sebuah cerita dari seseorang, yang menurut gw spesial. kenapa?
karena gw sedikit gak yakin bakal bisa menceritakan setiap detail apa yang beliau alami,
sebuah cerita tentang pengalaman beliau selama KKN, di sebuah desa penari.
karena gw sedikit gak yakin bakal bisa menceritakan setiap detail apa yang beliau alami,
sebuah cerita tentang pengalaman beliau selama KKN, di sebuah desa penari.
sebelum gw memulai
semuanya. gw sedikit mau menyampaikan beberapa hal.
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
sebelumnya, penulis tidak mendapat ijin untuk memposting cerita ini dari yang empunya cerita, karena beliau memiliki ketakutan sendiri pada beberapa hal, yang meliputi kampus, dan desa tempat KKN di adakan.
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
sebelumnya, penulis tidak mendapat ijin untuk memposting cerita ini dari yang empunya cerita, karena beliau memiliki ketakutan sendiri pada beberapa hal, yang meliputi kampus, dan desa tempat KKN di adakan.
tetapi, karena
penulis berpikir bahwa cerita ini memiliki banyak pelajaran yang mungkin bisa
dipetik terlepas dari pengalaman sang pemilik cerita akhirnya, kami sepakat,
bahwa, semua yang berhubungan dengan cerita ini, meliputi nama kampus,
fakultas, Desa dan latar cerita,
akan sangat di
rahasiakan.
![]() |
Gambar 1 : KKN di Desa Penari (Sumber : https://pbs.twimg.com/media/D90qbYiUEAAc3xU.jpg) |
jadi buat teman-teman yang membaca cerita ini, yang mungkin tahu, atau merasa familiar dengan beberapa tempat yang meski di samarkan ini, di mohon, untuk diam saja, atau merahasiakan semuanya, karena ini sudah menjadi janji penulis dan pemilik cerita.
tahun 2009
akhir,
semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan dibeberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.
dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri.
semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan dibeberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.
dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri.
Widya, begitu anak-anak
lain memanggilnya
ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya.
"aku wes oleh nggon KKN 'e" (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon.
wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap
ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya.
"aku wes oleh nggon KKN 'e" (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon.
wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap
"nang
ndi?" (dimana?)
"nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita)
saat itu juga, Widya segera mengajukan prop KKN
"nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita)
saat itu juga, Widya segera mengajukan prop KKN
semua persyaratan
sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal
harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang.
"tenang" kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.
"tenang" kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.
benar saja, tidak
beberapa lama, muncul Bima dengan Nur, ia menyampaikan, kelengkapan anggota 6
orang yang melibatkan 2 fakultas sudah di setujui.
"sopo sing gabung Nur?" (siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu,
"temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya"
"sopo sing gabung Nur?" (siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu,
"temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya"
lega sudah. batin
Widya.
surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar 6 minggu.
hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.
surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar 6 minggu.
hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.
jauh hari sebelum
malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orangtuanya tentang progress KKN yang
wajib ia tempuh, keika orangtua Widya bertanya kemana Projek KKN mereka,
terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya.
"gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (apa gak ada tempat
"gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (apa gak ada tempat
-lain, kenapa harus
kota B) wajah ibunya menegang. "nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di
nggoni gawe menungso" (disana tempatnya bukanya hutan semua, tidak bagus
ditinggali oleh manusia)
namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi,-
namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi,-
wajah ibunya
melunak.
"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh" (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi)
Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.
"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh" (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi)
Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.
hari pembekalan
sebelum keberangkatan.
Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.
Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.
Wahyu dan Anton.
setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat.
"Numpak opo dik kene??" (naik apa kita nanti?) kata Wahyu.
"Elf mas" jawab Nur.
"sampe deso'ne numpak Elf dik?" (sampai desanya naik mobil Elf dik?)
setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat.
"Numpak opo dik kene??" (naik apa kita nanti?) kata Wahyu.
"Elf mas" jawab Nur.
"sampe deso'ne numpak Elf dik?" (sampai desanya naik mobil Elf dik?)
"mboten mas.
berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput" (tidak mas, nanti
berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur.
mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati Mobil ta?" (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil"
mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati Mobil ta?" (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil"
Ayu hanya
menggelengkan kepala. "ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit
palingan" (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit
kemungkinan)
disinilah. cerita ini di mulai.
disinilah. cerita ini di mulai.
sesuai apa yang Nur
katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5
jam dari kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, di tambah area dekat
dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai disana, gerimis
mulai turun. lengkap sudah.
setelah menunggu
hampir setengah jam, terlihat dari jauh, cahaya mendekat, Nur dan Ayu langsung
mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar.
rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.
"cuk. sepedaan tah" kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh
rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.
"cuk. sepedaan tah" kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh
entah disengaja atau
tidak, ucapan yang di anggap biasa di kota S, di tanggapi lain oleh
lelaki-lelaki itu, wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat wahyu.
hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.
hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.
ditengah gerimis,
jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara
motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun,
membuat Widya berpikir kembali
sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan
sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan
khawatir bahwa yang
di maksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai
berharap semua ini cepat selesai.
di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.
di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.
Malam semakin gelap,
dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di
temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat.
kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.
kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.
ketika suara motor
memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.
suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan.
apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.
suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan.
apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.
dan ketika sayup-sayup
suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.
sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
"Monggo"
(permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.
"mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.
"mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.
"kenalno, niki
pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang
dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan"
(Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya
yang dari kota, yang rencananya mau KKN"
pak Prabu
memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita,
Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah,
pak Prabu menjawab.
"pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok"
(pelosok bagaimana-
"pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok"
(pelosok bagaimana-
maksudnya mbak,
bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)
tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
"mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak-
tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
"mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak-
antar ke tempat
dimana nanti kalian tinggal)
di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu)
di situ, Widya menyadari, ada yang salah.
di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu)
di situ, Widya menyadari, ada yang salah.
tempat menginap
untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk
posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di
dalamnya sudah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar.
sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu-
sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu-
rumah warga.
di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.
di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.
Nur, lebih memilih
untuk diam.
"ngene, awakmu
krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar
apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?)
"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)
berbeda dengan Ayu,-
"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)
berbeda dengan Ayu,-
Nur, menatap Widya
dengan ngeri.
sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek"
sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek"
(Mbak, tidak mungkin
ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang
jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)
mendengar itu, Ayu
tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu" (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu-
"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu" (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu-
bukanya kamu ikut
observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong ha; yang gak
masuk akal begini)
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.
saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.
saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
"masalahe mbak,
aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat
ada yang menari di jalan tadi)
"Astaghfirullah" kata Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
"Astaghfirullah" kata Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
benar kata ibunya
tempo hari.
"Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur
"Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur
Cerita tentang Nur
dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya
saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai
di rasa yang paling pahit.
Widya memang percaya
terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali
ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda
dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.
mungkin Nur lebih sensitif.
mungkin Nur lebih sensitif.
memang, sejak awal,
Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan
jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius,
karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota
"J".
terlepas dari itu
semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan
ini.
"Nur,"
kata Widya masih menenangkan "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar
yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita
disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih"
(Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)
(Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)
(kan jadi gak enak,
kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu,
insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya)
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.
keesokan harinya,
rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini, akan keliling
desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus,
meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak
sendiri-sendiri.
"ngene iki,
walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana
lagi" kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa
dan bahasa indonesia,
mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah"
mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah"
(itu loh, dengarkan
bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah)
Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?"
"bukan" kata beliau santai. "pertanian"
"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)
Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?"
"bukan" kata beliau santai. "pertanian"
"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)
"ya, memangnya
sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah"
jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.
sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.
sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
aneh.
itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.
pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.
itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.
pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.
Nur yang tadi ikut
tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau
melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.
"ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)
"ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)
belum selesai Widya
bicara, pak Prabu memotongnya
"saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?"
Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil
"saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?"
Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil
"ini itu
namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh
pemakaman" terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat
serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir.
namun pak Prabu bisa mendengarnya.
"wong pekok yo
isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan
kuburan dan lapangan bola pak)
pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.
"semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"
pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.
"semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"
kalimat pak Prabu
seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak,
Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam
setelah mendengar respon pak Prabu.
"mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"
"mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"
tempat berikutnya
adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa
Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada
sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan
air.
tanpa terasa, hari
sudah siang.
Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.
namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.
namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
keganjilan yang
paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia
melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga
dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya
tidak tenang.
setiap kali mau
bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.
Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.
Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.
kemudian, sampailah
di titik paling menakutkan
"Tipak talas" kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan
"Tipak talas" kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan
"kenapa tidak
boleh pak?" tanya Ayu penasaran.
pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya.
"iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?"
pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya.
"iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?"
(itu adalah hutan
belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian
kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?)
sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
Lanjut gak??
jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.
btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu
jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.
btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu
observasi berakhir
ketika pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.
ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.
ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.
alasan kenapa tidak
ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.
tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.
tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.
tidak berhenti di
situ, pak Prabu mengatakan bahwa, mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan di
usahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan.
untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
semua anak tampak
paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat
melakukan apa-apa.
sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.
sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.
Sore menjalang
malam.
Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, kahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.
Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, kahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.
Widya setuju. ia gak
berpikir aneh-aneh.
selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden
selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden
bangunan Sinden itu
menyerupai candi kecil, bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi
berlumut, setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah Bilik itu tepat di
samping pohon Asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan.
sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.
sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.
rupanya benar, ada
kendi besar di dalam bilik itu.
air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.
air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.
dari dalam bilik,
terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian
dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri,
di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada
sesajenya.
yang lebih parah,
bara dari kemenyan baru saja di bakar.
antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.
"Nur" "Nur" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.
"Nur" "Nur" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
masih berusaha
memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus
menempelkan telinganya di pintu bilik.
suara orang sedang berkidung.
kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
suara orang sedang berkidung.
kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
"Nur. bukak
Nur!! bukak" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu
terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik
"nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?)
ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik
"nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?)
ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik
"ayo ndang
adus, gantian, aku sing gok jobo" (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang
jaga di luar)
kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
bagian dalam bilik
sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi
besar, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok
kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai membuka
bajunya perlahan.
masih terbayang
nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri
suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah
suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah
ia berdiri di depan
kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badanya,
Widya merasakan dingin air itu membilas badanya.
sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.
sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.
setiap siraman air
di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata,
terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya.
siapa pemilik wajah cantik itu?
kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati,
siapa pemilik wajah cantik itu?
kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati,
suaranya, dari luar
bilik. tempat Nur berdiri seorang diri.
apakah Nur yang
sedang berkidung?
pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.
pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.
usai sudah acara mandi
di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya
mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.
"Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?)
Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.
"Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?)
Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.
Nur pergi tanpa
menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. ia seperti membawa rahasianya
sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.
Listrik di desa ini
menggunakan tenaga Genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah
mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan
Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk Proker esok hari.
Widya masih teringat kejadian sore tadi.
Widya masih teringat kejadian sore tadi.
sebenarnya Widya mau
cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal di semprot dan
berujung pada pidato tengah malam.
di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.
di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.
"mau aku ambek
Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak
talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar" (tadi aku sama
Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama
Tapak Tilas, ternyata, gak jauh-
-darisana, ada
sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)
Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu
"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)
"guguk aku" (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.
Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu
"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)
"guguk aku" (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.
(jadi yang mengajak
awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok
tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada)
"lah trus,
awakmu tetep ae mrunu!!" (lah terus kamu tetap kesana)
"cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)
perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu.
"cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)
perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu.
Widya merasa
perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa
seperti kacau balau.
karena malam semakin
larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia melihat Nur, sudah terlelap
dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera
berlalu,
tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar
tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar
ragu apakah mau
membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar
Nur.
rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana.
rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana.
Malam itu sangat
gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari
biasanya, dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat
sepi, di lihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur, Widya terpaku
melihat Nur, di depanya
Nur berdiri di tanah
lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur
berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.
Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, Widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.
Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, Widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.
"Nur"
panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia masih berlenggak
lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulukuduk
terasa berdiri ketika memandangnya.
dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut,
dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut,
tabuhan gamelan
sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan
itu.
kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
sampai akhirnya
Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar
berhenti bersikap aneh, dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang
sangat menakutkan.
sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.
sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.
kali berikutnya,
seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil
namanya.
Wahyu.
Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
"bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!" (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian-
Wahyu.
Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
"bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!" (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian-
disini seorang diri)
jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
"onok opo to
ndok?" (ada apa sih nak?) kalimat itu lah yang pertama kali Widya dengar,
si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga
memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.
kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu
kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu
Wahyu menceritakan
semuanya, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras
posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari
di tanah lapang, karena penasaran, wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila
yang menari itu adalah Widya.
semua yang
mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar,
si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah
lagi, karena hari semakin larut.
si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu.
si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu.
namun ada satu hal,
yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
namun malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
namun malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.
semua orang sudah
berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu, beliau bertanya tentang bagaimana
kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar
Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk
mencari air minum.
semua penjelasan itu
tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih
tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia
mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya
hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya
hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya
Nur pergi, ia masih
harus mengerjakan proker individualnya.
dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu.
dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu.
jalur yang mereka
tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya
merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak
sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada
malam ketika orang2 desa menjemput
Rumah yang pak Prabu
datangi, rupanya rumah seseorang.
melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang2 desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.
melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang2 desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.
berpagar batu bata
merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih
enak dipandang mata.
di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.
di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.
tidak ada yang tahu
nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut, setelah pak Prabu
selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak
tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua
anak-anak masih tidak habis pikir.
sesekali memang mbah
Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya
sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih.
dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.
dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.
"Monggo"
(silahkan) kata beliau, matanya memandang Widya.
melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.
melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.
kopinya manis, ada
aroma melati didalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar,
gelas kopi itu sudah kosong.
tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya "tidak baik menolak pemberian tuan rumah"
semua akhirnya mencobanya
tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya "tidak baik menolak pemberian tuan rumah"
semua akhirnya mencobanya
berikutnya. Wahyu
dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk,
mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat
pahit, sampai tidak bisa di tolerin masuk ke tenggorokan.
anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.
anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.
"begini"
kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya
kadang tidak bisa di pahami semua anak. ada kalimat, penari dan penunggu, namun
yang lainya tidak dapat di cerna.
ia menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.
ia menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.
pak Prabu
mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang.
sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.
kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi.
sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.
kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi.
kopi yang di
hidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang di racik khusus untuk
memanggil Lelembut, Demit dan sejenisnya, bukan kopi untuk manusia, mereka yang
belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkanya, namun, bagi lelembut dan
sebangsanya, kopi itu manis sekali.
semua anak memandang
Widya.
namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. "sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i" (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)
namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. "sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i" (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)
selain mengatakan
itu, pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan
serta merta di apa-apakan, hanya di ikuti saja, yang lebih penting, Widya tidak
boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya, untuk itu, pak
Prabu punya gagasan.
mulai malam ini,
mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu
anyam, pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja.
pertemuan itu juga di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.
pertemuan itu juga di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.
tempat tinggal
mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang
merantau, sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang di temui anak
seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil
baligh pasti pergi merantau.
dibelakang rumah,
ada watu item (Batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang, dan di
kelilingi, daun tuntas.
Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari pak Prabu
Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari pak Prabu
setelah kejadian
itu, Ayu sedikit menghindari Widya.
Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah2 pesan orang tua itu.
disini, Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.
Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah2 pesan orang tua itu.
disini, Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.
"Wid, kancamu
cah lanang iku, gak popo tah?" (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja
kah?)
"maksud'e mas?"
"cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi?"
"maksud'e mas?"
"cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi?"
(temanmu itu, setiap
larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang
mengerjakan prokernya tapi kok harus malam?)
"ra paham aku mas" (gak ngerti aku mas)
"trus" kata Wahyu "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar"
"ra paham aku mas" (gak ngerti aku mas)
"trus" kata Wahyu "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar"
(aku sering denger
anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)
"ra mungkin tah mas" (gak mungkin lah mas)
"sumpah!!" "gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan" (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)
"ra mungkin tah mas" (gak mungkin lah mas)
"sumpah!!" "gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan" (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)
"Bima iku
religius mas, ra mungkin aneh-aneh" (Bima itu religius, gak mungkin
aneh-aneh)
"yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. gendeng cah iku"
"yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. gendeng cah iku"
(ya sudah, tanya
Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di
kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak)
Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.
Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.
Malam semua anak
sudah berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.
Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu.
sebelum, suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon. (dapur)
Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu.
sebelum, suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon. (dapur)
untuk mencapai
pawon, Widya melewati kamar, disana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya
semakin terdengar dengan jelas.
Pawon rumah ini hanya di tutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.
Pawon rumah ini hanya di tutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.
Widya mematung,
diam, lama sekali, sampe Nur yang meneguk dari kendi melihatnya.
mata mereka saling memandang satu sama lain.
"Lapo Wid" (kenapa Wid?) tanya Nur.
Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, disana, tidak ada Nur
mata mereka saling memandang satu sama lain.
"Lapo Wid" (kenapa Wid?) tanya Nur.
Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, disana, tidak ada Nur
"onok opo toh
asline" (ada apa tah sebenarnya) tanya Nur yang sekarang di samping Widya,
ia memegang bahu Widya. dingin. tangan Widya masih gemetaran, sampai semua anak
melihat mereka kemudian mendekatinya.
"lapo kok rame'ne" (kenapa kok rame sekali) tegur Ayu.
"lapo kok rame'ne" (kenapa kok rame sekali) tegur Ayu.
"gak eroh, cah
iki ket maeng di jak ngomong ra njawab-njawab" (gak tau, anak ini di tanya
daritadi gak jawab-jawab)
"lapo Wid?" Wahyu mendekati
"tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih" (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih?) tanya Anton.
"lapo Wid?" Wahyu mendekati
"tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih" (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih?) tanya Anton.
"Nur, jupukno
ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae" (Nur ambilkan air gitu loh, kok
malah diam saja) tegur Anton,
Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya, lalu, tiba-tiba Widya diam lagi, membuat semua orang bingung
Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya, lalu, tiba-tiba Widya diam lagi, membuat semua orang bingung
tangan kiri Widya
masih memegang teko, sedangkan tangan kananya, terangkat lalu masuk ke dalam
mulut, disana, Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut
hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya.
semua yang menyaksikanya, beringsut mundur. kaget.
semua yang menyaksikanya, beringsut mundur. kaget.
begitu penutup
tekonya di buka, di dalamnya, ada segumpal rambut, benar-benar segumpal rambut
dengan air di dalamnya.
Nur yang melihatnya langsung bereaksi. "aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu'ne" (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituanya)
Nur yang melihatnya langsung bereaksi. "aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu'ne" (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituanya)
Widya muntah
sejadi-jadinya, saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan
"awakmu di incer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku
biasane nek gak di santet yo di incer demit"
(kamu di incar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba2 muncul rambut)
(kamu di incar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba2 muncul rambut)
(itu biasanya kalau
gak di santet ya di incar makhluk halus)
Nur, kemudian mengatakanya
"Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh"(Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)
Nur, kemudian mengatakanya
"Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh"(Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)
berhari-hari setelah
pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was, ia jatuh sakit selama 3 hari,
dan selama itu juga, Widya hanya terbaring di atas tikar kamar, Nur tidak
melanjutkan lagi ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakanya, seharusnya
ia menahan cerita itu.
selama Widya
terbaring sakit, ia seringkali di tinggal sendirian didalam rumah itu, dan
selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya
lupakan.
semua di mulai ketika, ia hanya berbaring di atas tikar, Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka
semua di mulai ketika, ia hanya berbaring di atas tikar, Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka
anak2 cowok juga
memulai proker mereka masing2, seharusnya, tidak ada satupun orang di rumah
itu, namun, siang itu, terdengar suara sesuatu yang di pukuli, hal itu
menimbulkan rasa penasaran, suaranya seperti benturan antara lempengan yang
keras, awalnya Widya menghiraukanya
namun, semakin lama,
Widya tidak tahan dan akhirnya memeriksanya.
suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur), maka Widya pergi kesana, saat ia sampai di pintu pawon, yang terbuat dari kayu, Widya berhenti, di sela2 pintu, Widya mengintip
suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur), maka Widya pergi kesana, saat ia sampai di pintu pawon, yang terbuat dari kayu, Widya berhenti, di sela2 pintu, Widya mengintip
alangkah bingungnya
Widya, melihat di antara pohon pisang, ada seorang bapak2, usianya berkisar
antara 50'an, menggunakan pakaian hitam ala orang yang akan berkebun, ia berdiri
di antara pohon pisang, matanya tampak mengawasi rumah yang menjadi penginapan
Widya selama KKN
lama sekali, bapak
itu berdiri mengawasi penginapan Widya, gerak-geriknya sangat mencurigakan,
seperti ingin masuk ke rumah namun, bapak itu ragu-ragu.
ketakutan, tiba-tiba terasa di dalam diri Widya, kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.
ketakutan, tiba-tiba terasa di dalam diri Widya, kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.
rasa lega, bapak itu
pergi, Widya berniat kembali ke kamar, disana ia melihat Anton, baru saja masuk
rumah, mereka berpapasan, bodohnya, Widya tidak menceritakan hal itu kepada
Anton dan anak lain, karena keesokan harinya, peristiwa yang sama itu, kembali
terulang..
di awali suara keras
yang sama, Widya kembali mengintip, kali ini, bapak itu lebih berani, ia
melihat kesana-kemari, mendekati penginapan dan beberapa kali berusaha
mengintip, dari gerak-geriknya, tampaknya bapak itu berniat buruk, masalahnya,
apa yang ingin dia cari disini.
memikirkan hal itu,
Widya tiba-tiba seperti baru ingat, ia hanya di rumah ini sendirian, seorang
wanita, sendirian di dalam rumah, dan seorang pria asing, mendekati rumah itu,
apalagi kalau bukan
sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, suara itu mengejutkanya
sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, suara itu mengejutkanya
suara keras itu
rupanya dari Batu di belakang pawon, keras sekali sampai membuat si bapak lari
tunggang langgang, Widya menyaksikanya sendiri, ada yang melempar batu cukup
besar, tepat di Watu item (Batu kali) di belakang rumah
sehingga si bapak panik dan pergi, Widya ikut pergi
sehingga si bapak panik dan pergi, Widya ikut pergi
Widya melaporkanya
pada pak Prabu, yang ikut kaget mendengarnya, di carilah si bapak itu, dan
ketemu, rupanya dia adalah warga desa sana, ketika di tanya apa yang dia
lakukan di rumah anak-anak KKN, bapak itu mengatakan sesuatu, yang entah benar
atau tidak, bila ia melihat wanita
Wanita yang di lihat
si bapak ini, mengenakan pakaian seperti dayang (penari) dan ia masuk rumah
ini, namun karena beliau takut di sangka melakukan hal-hal tidak baik, ia
memeriksanya diam-diam, tapi, di hari dimana ia lari tunggang langgang, ia
melihat sesuatu di pawon rumah
ia melihat wanita
itu di dalam pawon rumah, ia sedang menari dengan anggun, sesaat sebelum ia
melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati, karena di balik sirat wajah
wanita yang di sangka terlihat jelita itu, rupanya polos, rata tak ada bentuk.
apa yang di ucapkan
si bapak memang tidak dapat di percaya, namun pak Prabu tidak punya bukti lebih
jauh, maka pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, si bapak
pun pergi,
namun, pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri,
namun, pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri,
"onok sing
nyoba ngbari sampeyan mbak" (ada yang mencoba memberi pesan sama kamu
mbak)
"sinten pak?" (siapa pak?)
"mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item" (kakek-kakek penjaga batu kali itu)
setelah kejadian itu, Widya di minta ke rumah pak Prabu bila masih sakit.
"sinten pak?" (siapa pak?)
"mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item" (kakek-kakek penjaga batu kali itu)
setelah kejadian itu, Widya di minta ke rumah pak Prabu bila masih sakit.
namun, ada kejadian
lagi, yang Widya alami, kali ini melibatkan Nur, dan alasan kenapa rentetan
semua kejadian ini, berhubungan satu sama lain.
Mohon Maaf, harusnya
hari ini gw Free, udah siapin waktu juga, rencana awal mau namatin malam ini
tapi tiba-tiba di suruh lembur lagi.
besok saja ya, mohon maaf sekali.
besok saja ya, mohon maaf sekali.
waktu itu siang
hari, Widya sedang mengerjakan prokernya yang sudah tertunda beberapa hari,
Wayu mendekati Widya, ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa sementara
karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus di beli di
kota.
"Melu mboten?" (ikut gak?)
"Melu mboten?" (ikut gak?)
"adoh
gak?" (jauh gak?)
"2 jam" kata Wahyu, "aku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor'e" (aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjem motornya)
"nggih pon, melu" (ya sudah, ikut)
Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota,
"2 jam" kata Wahyu, "aku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor'e" (aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjem motornya)
"nggih pon, melu" (ya sudah, ikut)
Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota,
karena sesaat
sebelum meminta ijin, pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum
hari petang, saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan
setapak yang gampang di telusuri untuk masuk ke hutan ini.
dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan,
dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan,
"gak onok sing
ngerti opo sing onok gok jero'ne Alas le" (tidak ada yang pernah tau apa
yang tinggal didalam hutan nak)
mereka berangkat,
menembus jalan setapak, lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh,
sangat jauh, sampai akhirnya mereka tiba di kota B, disana mereka berhenti di
sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.
kurang lebih setelah 2 jam,
kurang lebih setelah 2 jam,
mencari kesana
kemari dan setelah mendapatkanya, mereka langsung cepat kembali.
Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.
jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore,
Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.
jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore,
sejenak ia melihat
Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok, ketika Wahyu
sampai disana, ia membeli beberapa cilok, untuk Widya dan dirinya sendiri, saat
itulah, si penjual cilok, melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.
"Mas nya
pendatang?" kata orang asing itu.
"mboten pak" "kulo KKN ten mriki" (tidak pak, saya hanya KKN disini)
"tetep ae, wong joboh to" (tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?"
"mboten pak" "kulo KKN ten mriki" (tidak pak, saya hanya KKN disini)
"tetep ae, wong joboh to" (tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?"
Wahyu menceritakan
semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali
perubahan wajah si penjual.
"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D*********??" (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********??)
"nggih pak" (iya pak)
"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D*********??" (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********??)
"nggih pak" (iya pak)
"loh loh, halah
dalah" "wes yangmene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek
penginapan ae, soale nek jam yangmene, jarang onok sing liwat" (sudah jam
segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam
segini sudah jarang ada yang lewat) kata si bapak
"mboten pak,
kulo bablas mawon" (tidak pak, saya lanjut saja) kata Wahyu,
"ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan??" (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)
si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.
"ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan??" (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)
si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.
"nggih
pak" kata Wahyu.
Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas ***********
"ngeten mas" (begini mas) "engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros"
Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas ***********
"ngeten mas" (begini mas) "engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros"
(nanti setelah
kalian sampai dan masuk ke jalanan hutanya, jalan saja ya terus)
"ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas"(gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)
"ojok lali, moco dungo'e sing katah"(jangan lupa doanya yg banyak)
"ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas"(gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)
"ojok lali, moco dungo'e sing katah"(jangan lupa doanya yg banyak)
(sing paling
penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan
sampe di gawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah di urus mas, sampeyan
percoyo ae, dungo nggih" (yang paling penting, jika kalian dengar suara
tanpa wujud, tetap lanjut saja)
(jika sampai kalian
di bikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan
pernah berhenti disana, yang penting tidak usah di perdulikan, kalian percaya
saja, doanya juga utamakan)
Widya tidak pernah
mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang,
bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.
"kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Tujuan"(saya doakan kalian selamat sampai tujuan)
tepat ketika langit sudah kemerahan,
"kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Tujuan"(saya doakan kalian selamat sampai tujuan)
tepat ketika langit sudah kemerahan,
mereka melanjutkan
perjalanan, di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu
saja. tidak pernah di sangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang
sudah mulai menjelang.
cahaya motor yang
dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri
kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakan, hanya suara motor yang mampu
menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak di temui
satupun pengendara lain disini
Wahyu mencoba
mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban
meletus di tengah antara hutan ini sementara belum di temui satupun pengendara
yang lewat, Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian wahyu terjadi
pada mereka, dan benar saja.
Motor mereka ngadat
tepat setelah Wahyu mengatakan itu.
Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala Doa bisa saja di kabulkan sewaktu2
Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala Doa bisa saja di kabulkan sewaktu2
"mlaku o disek,
ben aku isok nyawang awakmu" (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap
memantau kamu) kata Wahyu, sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata
"Goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian
menyusuri jalan ini.
sembari mencoba menstarter motor
sembari mencoba menstarter motor
entah berapa lama
mereka berjalan, dan masih belum di temui satupun pengendara yang di mintai
pertolongan, Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian didepan, tak
sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling
fatal, yang pernah Wahyu buat.
sampai, langkah
kakinya berhenti.
Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. pasti.
"nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau" (kalau sampai kamu kesurupan,
Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. pasti.
"nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau" (kalau sampai kamu kesurupan,
bener-bener
keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku dari tadi sudah capek dorong
motor dari tadi)
Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
"yu, krungu ora?? suara mantenan??" (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)
Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
"yu, krungu ora?? suara mantenan??" (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)
bukan mau mengatakan
Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari
tempat mereka.
"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae" (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)
"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae" (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)
seperti kata Wahyu,
Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara
itu, dan semakin lama, di iringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang
melangsungkan hajatan, sampai, di lihatnya, terdapat jenur kuning melengkung,
disana, Widya melihatnya
sebuah pesta, tepat
di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan,
disana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik di
dendangkan.
Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
tidak ada angin,
tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya
tiba-tiba tepat di samping mereka.
"Nopo le" (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus, "sepeda'e mblodok?" (motornya mogok?)
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.
"Nopo le" (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus, "sepeda'e mblodok?" (motornya mogok?)
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.
si orang tua
memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda, menepi dari
jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat
sebentar, sembari menunggu motornya di betulkan.
suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri2
suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri2
ada yang bercanda,
ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang di
tabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu
dan Widya duduk.
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
"aku ra eroh nek onok kampung nang kene?" (aku tidak tau ada kampung disini?)
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
"aku ra eroh nek onok kampung nang kene?" (aku tidak tau ada kampung disini?)
Widya hanya diam
saja, matanya fokus pada panggung, didepan penabuh gamelan masih ada ruang,
acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.
rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab, dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya.
rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab, dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya.
di ikuti serombongan
orang, dihadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung,
kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak
lenggok di atas panggung, semua mata, seperti terhipnotis melihatnya
"Ayu'ne
curr!!"(cantik sekali anj*ng!!) kata Wahyu
bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka
bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka
Wahyu yang mungkin
lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapanya, sembari
bercakap-cakap sama si bapak tua, namun Widya lebih suka melihat si penari, ia
mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang
menghipnotis.
setelah si penari
turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa di
naikin lagi, benar saja.
motor mereka sudah bisa di pakai lagi, sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan,
motor mereka sudah bisa di pakai lagi, sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan,
si bapak mengangguk,
mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan,
menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya, itu adalah jajanan yang di hidangkan
tadi, membungkusnya dengan koran, Widya menerimanya, mengucap terimakasih lagi,
lalu lanjut pergi.
tidak ada yang
seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari, kisaran
usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi
usianya sehingga dari jauh, kecantikanya terlihat begitu sulit di gambarkan.
Widya, lebih
tertarik dengan kampung itu. demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak di temui
satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.
namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun,
namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun,
jadi, apa mungkin,
hantu bisa membetulkan motor.
satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, Desa KKN mereka sudah semakin dekat.
satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, Desa KKN mereka sudah semakin dekat.
sesampainya di
kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah di tunggu oleh
semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.
"tekan ndi seh?? kok suwe'ne" (darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu,
"tekan Kota, belonjo keperluan kene" (dari kota)
"tekan ndi seh?? kok suwe'ne" (darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu,
"tekan Kota, belonjo keperluan kene" (dari kota)
(belanja keperluan
kita)
Nur membuang muka melihat Widya, sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu, sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.
Nur membuang muka melihat Widya, sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu, sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.
di suasana tegang
itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana, "wes ta lah, kok kaku
ngene seh"(sudahlah, kok canggung gini)
Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah, "awakmu pegel kan" (kamu pasti capek kan)
tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah
Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah, "awakmu pegel kan" (kamu pasti capek kan)
tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah
tanpa membuang2
waktu, alih-alih ia istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau
baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai
dibantu, orang kampung, tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui,
kecantikanya, ia ceritakan semua
bukan sambutan yang
Wahyu dapat, tapi tatapan kebingungan lah yang pertama Wahyu lihat.
"ra onok Deso maneh nang kene" (tidak ada desa lagi disini) kata Bima, Wahyu yang mendengar itu tidak terima.
"eroh tekan ndi awakmu" (tau darimana kamu)
"aku wes sering nang kota yu,"
"ra onok Deso maneh nang kene" (tidak ada desa lagi disini) kata Bima, Wahyu yang mendengar itu tidak terima.
"eroh tekan ndi awakmu" (tau darimana kamu)
"aku wes sering nang kota yu,"
(aku sudah sering ke
Kota Yu) "Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering
melu nang kota mabek wong-kene" (Prokerku berhubungan sama program hasil
alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini) "sampe sak iki, aku rong
eroh onok deso maneh nang kene"
(sampai sekarang,
aku belum nemuin satu lagi kampung di dekat sini)
"ngomong opo, mbujuk" (bicara apa, nipu) kata Wahyu geram.
"Mas" kata Nur, "pancen ra onok Deso maneh nang kene, kan wes tau di bahas" (Mas, memang gak ada lagi desa disini, kan sudah pernah di bahas dulu)
"ngomong opo, mbujuk" (bicara apa, nipu) kata Wahyu geram.
"Mas" kata Nur, "pancen ra onok Deso maneh nang kene, kan wes tau di bahas" (Mas, memang gak ada lagi desa disini, kan sudah pernah di bahas dulu)
"koen kabeh nek
ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane" (kalian kalau
gak percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)
Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba di tarik oleh Wahyu. "takono ambek Widya nek ra percoyo"
Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba di tarik oleh Wahyu. "takono ambek Widya nek ra percoyo"
(tanya sama Widya
kalau tidak percaya)
Widya masih diam, lama, sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.
sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.
Widya masih diam, lama, sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.
sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.
karena tidak sabar,
Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi
yang Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian
bapak tua itu.
tepat ketika Wahyu
membuka bingkisan itu.
Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.
Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.
setelah kejadian
malam itu. Wahyu mengurung diri dalam kamar, 3 hari lamanya, kadang, ia masih
tidak percaya dengan hal itu, namun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala
monyet itu jatuh dari tanganya, rasa mualnya akan kembali, membuat wahyu harus
memuntahkan isi perutnya..
Widya hanya
mengulang kalimat mbah Buyut "jangan menolak pemberian tuan rumah"
sejatinya, Wahyu dan Widya sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil, namun
mereka harus tetap mencicipinya, yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar,
bahwa yang menemani mereka bukanlah manusia
seandainya saja,
Widya mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu, menolak pertolongan mereka,
menolak pemberian mereka, mungkin jalan cerita semua ini akan benar-benar
berbeda, bisa saja, justru, penolakan seperti itu akan mendatangkan balak
(bencana) bagi mereka,
apapun itu, Widya
sudah mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung, tentang
dirinya dan sang Penari.
Malam itu, Widya
baru selesai melihat prokernya yang di bantu beberapa warga desa, ketika langit
sudah gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa, seperti biasa, suara
binatang malam mulai terdengar, ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat
mereka menginap.
seharusnya yang lain
sudah ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak
beristirahat, namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan
rumah, mati. membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan.
seolah rumah itu memanggil namanya.
"wes
biasa" batin Widya, memantapkan hatinya. rumah ini memang masih terbilang
baru bagi Widya dan yang lainya, namun, tempo hari, mendengar bahwa ada
penunggu di belakang rumah, membuat Widya kadang tidak tenang, dan beberapa
kejadian ganjil hampir pernah Widya alami, hanya saja
apa yang Widya
alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih
diam.
kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk, dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada disana, menulis laporan, sayangnya-
kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk, dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada disana, menulis laporan, sayangnya-
tidak ada Ayu
disana. hanya ruangan kosong.
di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada disana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji, dan Bima yang entah apa yang ia lakukan
di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada disana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji, dan Bima yang entah apa yang ia lakukan
selama tinggal di
rumah ini. hanya Bima, yang masih terasa asing bagi Widya.
sayangnya, malam
itu, tak di temui satupun penghuni rumah ini, apakah Widya terlalu sore untuk
pulang, sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing
bersama warga.
entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar, saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.
entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar, saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.
perasaan seolah ada
yang mengawasi entah darimana, dan menimbulkan rasa berdebar di dada, ketika,
suara tawa ringkik terdengar dari Pawon (dapur) rumah, saat itulah, Widya
yakin, sesuatu ada disana.
sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya.
sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya.
ketika Widya
menyibak tirai, ia melihat Nur, duduk di sebuah kursi kayu, matanya menatap
lurus tempat Widya berdiri, ia masih mengenakan mukenah putihnya seolah-olah,
ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan mukenahnya, hanya saja, kenapa
ia duduk diam seperti itu.
"Nur"
"ngapain?" kata Widya.
Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.
saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. membuat Widya panik, mendekatinya.
Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.
saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. membuat Widya panik, mendekatinya.
Widya menggoyang
badanya, namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya
yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya, tatapanya, seperti orang
yang sangat marah.
"Cah Ayu"
(anak cantik) hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur, hanya saja,
suaranya, itu bukan suara Nur. suaranya menyerupai wanita uzur. melengking,
membuat bulukuduk Widya seketika berdiri.
namun, saat Widya mencoba pergi, tanganya sudah di cengkram sangat kuat.
namun, saat Widya mencoba pergi, tanganya sudah di cengkram sangat kuat.
"kerasan nak
nang kene," (betah tinggal disini)
Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.
"yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi" (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu disini)
Widya mulai menangis.
Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.
"yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi" (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu disini)
Widya mulai menangis.
"lo lo lo, cah
ayu ra oleh nangis, gak apik" (anak cantik gak boleh menangis) Matanya
masih melotot, pergelangan tangan Widya di cengkram dengan kuku jari Nur.
"cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi" (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)
"cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi" (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)
"Nur" ucap
Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu
benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.
"iling Nur iling" (sadar Nur sadar)
Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam takut.
"iling Nur iling" (sadar Nur sadar)
Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam takut.
"awakmu gak
ngerti, sopo aku" (kamu gak ngerti siapa aku?)
"mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu 'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. ngerti"
"mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu 'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. ngerti"
(kamu pikir, kalau
tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang sudah membawa penunggu disini
bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini sudah menjaganya, tidak akan ku
biarkan mereka mendekati cucuku. mengerti)
"nyilokoi nopo
to mbah" (mencelakai bagaimana?)
"cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki"
"cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki"
(anak cantik, satu
dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum sadar, semuanya akan
terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka jika di biarkan semuanya
akan kena batunya di desa ini)
setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.
setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.
Widya menggotong Nur
kembali ke kamarnya, menungguinya sampai ia terbangun dari pingsanya, dan benar
saja, ia tidak tahu kenapa ia bisa tertidur, mungkin terlalu terbawa ketika
sholat.
Nur bercerita saat di pondok, kalau sudah kudu menikmati sholatnya, biasanya sampai ketiduran.
Nur bercerita saat di pondok, kalau sudah kudu menikmati sholatnya, biasanya sampai ketiduran.
entah apa yang Widya
pikirkan, sampai tiba-tiba ia bertanya hal yang Nur paling tidak sukai
"sejak kapan bisa lihat begituan?"
awalnya, Nur salah tingkah, tidak mau cerita, sampai ketika Widya menungguinya, Nur mengatakanya, sejak mondok, ia bisa melihatnya, karena memang harus
"sejak kapan bisa lihat begituan?"
awalnya, Nur salah tingkah, tidak mau cerita, sampai ketika Widya menungguinya, Nur mengatakanya, sejak mondok, ia bisa melihatnya, karena memang harus
"Ghaib itu
ada" kata Nur, "sebenarnya, tiap orang ada yang jaga, jenisnya
berbeda-beda, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang cuma mengikuti, ada yang
cuma numpang lewat"
"awakmu onok sing jogo?" (kamu ada yang jaga?) tanya Widya.
"awakmu onok sing jogo?" (kamu ada yang jaga?) tanya Widya.
"jarene
onok" (katanya ada) ucap Nur, suaranya pelan, sepeti tidak mau menjawab.
"kok jarene" (kok katanya)
"aku ra tau ndelok Wid, aku di kandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo aku, wujud'e mbah dok, mbahku biyen)
"kok jarene" (kok katanya)
"aku ra tau ndelok Wid, aku di kandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo aku, wujud'e mbah dok, mbahku biyen)
(aku belum pernah
melihatnya langsung, aku di kasih tahu temanku sebelum keluar dari pondok,
katanya, wujudnya menyerupai nenekku)
setelah mendengar itu, Widya hanya mendengar Nur, bercerita tentang pengalamanya selama mondok, namun, Widya lebih memikirkan hal lain.
setelah mendengar itu, Widya hanya mendengar Nur, bercerita tentang pengalamanya selama mondok, namun, Widya lebih memikirkan hal lain.
23 Hari, sudah di
lalui, setiap hari, perasaan Widya semakin tidak enak, di mulai dari satu
persatu warga yang membantu prokernya mulai tidak datang satu persatu, kabarnya
mereka jatuh sakit, anehnya, itu terjadi di proker kelompok mereka, yang
berurusan dengan Sinden.
pernah suatu hari,
Widya mendengar secara tidak langsung, kalau ini semua karena Sindenya
mengandung kutukan, tapi pak Prabu bersihkeras itu mitos, takhayul, sesuatu
yang membuat warga desanya ketinggalan jaman.
namun, satu kali, Widya pernah di kasih tahu warga, bila Sinden ini
namun, satu kali, Widya pernah di kasih tahu warga, bila Sinden ini
ada yang jaga.
katanya, Sinden ini dulu, sering di gunakan untuk mandi oleh dia. dia yang di bicarakan ini, tidak pernah di sebut warga, namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah, nama Sinden ini, adalah Sinden kembar.
Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu.
katanya, Sinden ini dulu, sering di gunakan untuk mandi oleh dia. dia yang di bicarakan ini, tidak pernah di sebut warga, namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah, nama Sinden ini, adalah Sinden kembar.
Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu.
Sinden kembar,
membuat Widya semakin penasaran
alasan kenapa pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat di alirkan ke Sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal, namun, seperti ada yang ganjil
alasan kenapa pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat di alirkan ke Sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal, namun, seperti ada yang ganjil
Malam itu, Ayu
mengumpulkan semua anak, perihal masalah yang mereka hadapi, hampir setengah
warga yang membantu proker mereka tidak mau melanjutkan pekerjaanya. alasanya
bermacam-macam, sibuk berkebun sampai badanya sakit semua.
dari semua anak yang
punya usul, hanya Bima yang tidak seantusias yang lain.
di malam itu juga, Widya ingat yang di katakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukanya.
Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan, dan ternyata benar, malam itu
di malam itu juga, Widya ingat yang di katakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukanya.
Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan, dan ternyata benar, malam itu
Bima pergi keluar
rumah.
Widya masuk ke kamar
Bima, disana ada Wahyu sama Anto, yang pertama Widya lakukan, membangunkan
Wahyu, meski enggan, Widya terus memaksanya, setelah Wahyu benar-benar terjaga,
Widya memberitahu kalau Bima baru saja keluar.
Wahyu hanya menatap Widya keheranan,
Wahyu hanya menatap Widya keheranan,
"aku lak wes
tau ngomong su" (aku kan sudah pernah bilang jing)
"lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku" (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)
"gawe opo? paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne" (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong-
"lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku" (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)
"gawe opo? paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne" (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong-
sampahnya yang dari
bambu)
"yo wes mboh" (ya sudah terserah)
Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima, sendirian.
"yo wes mboh" (ya sudah terserah)
Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima, sendirian.
Bima itu anak cowok
yang paling religius, sama kaya Nur, karena mereka memang sudah dekat di
kampus. tapi, Anton sering cerita, kalau kadang, dia memergoki Bima Onani di
dalam kamar, dan itu tidak sekali dua kali, masalahnya adalah, saat Bima
melakukan itu, ada suara perempuan
Widya tidak terima
Bima di katain itu oleh Anton, Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani?
"heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo?" (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani?)
Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.
"heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo?" (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani?)
Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.
"sing dadi
masalahe iku guk Bima Onani" "kabeh lanangan pasti tahu onani, aku
gak munafik, masalahe, onok suara wedok'e,??"
(yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuanya.??)
(yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuanya.??)
"pas tak
enteni, sopo arek iku, nek gak awakmu, pasti Ayu nek gak Nur, tapi, ra onok
sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui" (ketika ku tunggu, siapa
perempuan itu, ku kira itu kamu, kalau gak ayu atau nur, ternyata, tidak ada
siapa-siapa di dalam kamar sama dia)
"trus"
tanya Widya.
"suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu?" (suara siapa dong yang ku dengar waktu itu)
"masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku" (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)
"suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu?" (suara siapa dong yang ku dengar waktu itu)
"masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku" (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)
cerita Anton membuat
pandangan Widya berubah, dan malam itu, ia melihat Bima berjalan jauh ke timur,
arah menuju sebuah tempat yang seringkali membuat Widya merinding tiap
memandangnya.
Tipak Talas.
Tipak Talas.
TIPAK TALAS
Widya melihat Tipak
talas seperti sebuah lorong panjang hanya saja, dindingnya adalah pepohonan
besar dengan akar di sana-sini, selain medan tanahnya yang menanjak, di depan
Tipak talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di
sekelilingnya.
pak Prabu pernah
bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di
pemakaman, namun bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda,
sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di
maksud adalah simbol alam lain.
hitam bukan untuk
yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. MATI
lalu, apa maksud penanda warna merah?
konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka
lalu, apa maksud penanda warna merah?
konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka
Widya mulai
melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu,
sembari tanganya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya
Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai
Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai
ketika Widya sampai
di puncak Tapak tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak, kelihatanya
tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga, disana, Widya
merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal
itu, membuat Widya merinding.
jalan setapak itu
tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang
tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat
hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an
disekitarnya yang tidak tersentuh.
sangat mudah
mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak, namun, setiap
kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada
yang bergerak-gerak, kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap
begitu saja.
Tanahnya keras, dan
lembab. namun Widya terus menembus jalanan itu, semakin lama semakin dingin,
dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang.
jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.
jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.
hal yang cukup di
sesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop, memang, apa yang
Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa
teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending.
ya. suara yang familiar,
ya. suara yang familiar,
nada yang dimainkan
adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur,
sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya
mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.
bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi
bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi
semakin jauh,
suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa disana,
Widya tidak sendirian.
namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.
tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.
namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.
tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.
tumbuhanya kecil,
tapi rimbun, samping kiri kanan, sudah gak bisa di lewati, kecuali bila membawa
parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar,
namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu, namun yang ini, wanginya
seperti aroma melati,
seperti tidak sadar,
Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah, Widya baru sadar saat
tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam, dan di balik tumbuhan itu,
Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan
setapak berhenti disini.
jadi, jalan
menurunya di tutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas, saat Widya
menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang di
lilit tali puteri.
di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.
di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.
ada 4 pilar kayu
jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari
jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai
panggung.
disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.
disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.
saat Widya
mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadiranya tidak sendirian, ramai, seperti
tempat ini penuh sesak, namun, tidak ada siapapun disana, hanya dia sendiri,
yang berjalan mendekati
tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap
tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap
hening sekali.
keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini.
namun Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal.
Ayu.
keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini.
namun Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal.
Ayu.
Widya baru mengingat
sesuatu yang paling ganjil selama KKN disini, Ayu.
Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini,
Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini,
namun di malam
ketika mereka berdebad mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong, Ayu
sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung, Ayu lebih tahu tentang
semua ini, jauh di atas yang lain, termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini.
seperti menangkap
angin, ada suara tangisanya, namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari,
tetapi, tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya, seperti
ia di tatap dari berbagai sudut.
Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.
Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.
Widya mendekatinya,
namun enggan membukanya, ia mengelilingi gubuk itu, dari dalam gubuk, terdengar
suara Bima, di ikuti suara perempuan mendesah, sangat jelas, namun Widya tidak
bisa melihat apa yang ada di dalam sana.
leher Widya perlahan semakin berat, dan berat.
leher Widya perlahan semakin berat, dan berat.
saat Widya masih
bersusah payah mencari cara untuk melihat, nasib baik, Widya menemukan beberapa
celah kecil untuk mengintip, darisana Widya menyaksikanya langsung, Bima,
sedang berendam di Sinden (Kolam) di sekitarnya, ia di kelilingi banyak sekali
ular besar.
melihat itu Widya
kaget, dan parahnya, Bima menatap lurus ke tempat Widya mengintip, semua
ularnya sama, seperti yang Widya rasakan, mereka tahu, ada tamu tak di undang.
melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi.
melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi.
saat lari itulah,
suara tabuhan gong di ikuti suara kendang, terdengar lagi, suara gamelan itu,
terdengar keras, lengkap dengan suara tertawa yang bersahut-sahutan, dan Widya
melihat Sanggar kosong itu, di penuhi semua yang tidak Widya lihat saat tiba di
tempat ini.
dari ujung ke ujung,
penuh sesak, banyak sekali yang dilihat Widya, ada yang melotot, dari yang
wajahnya separoh, sampe yang tidak punya wajah.
dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya, Widya mulai menangis.
dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya, Widya mulai menangis.
suara yang nyaris
memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti.
Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya.
disana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu,
Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya.
disana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu,
matanya Ayu sembab,
seperti sudah menangis lama, tapi gelagat ekspresi wajahnya seperti menyuruh
Widya lari, lari, tanpa tahu apa yang terjadi, Widya langsung lari, melewati
kerumunan yang sedang melihat Ayu menari di sanggar.
Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.
Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.
sampai di jalan
setapak, Widya dengar anjing menggonggong, tidak beberapa lama, anjing hitam
keluar dari semak belukar, setelah melihat Widya, anjing itu lari, Widya
mengikuti anjing itu.
Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan.
Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan.
tapi rupanya, Widya
salah.
seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.
"Widya nang kene, iki Widya wes balik" (Widya disini, anaknya sudah kembali)
bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.
seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.
"Widya nang kene, iki Widya wes balik" (Widya disini, anaknya sudah kembali)
bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.
"mrene ndok,
mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki" (kesini
nak, kesini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu
dengar) seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya
hanya gaguk, diam, tidak mengerti.
si ibuk menggandeng
Widya, Widya masih diam, seperti orang linglung, di jalan ramai warga desa yang
mengikuti Widya, Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang.
"wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek"
"wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek"
(sudah di cari
sampai ujung *********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah
mikir buruk)
sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.
sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.
ketika Widya melihat
rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul disana, dan
saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir.
seperti melihat hantu, lalu, terlihat dari dalam, pak Prabu keluar, wajahnya,
mengeras melihat Widya
mata pak Prabu
mendelik, melihat Widya. "tekan ndi ndok?" (darimana kamu nak)
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibuk juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.
Baca Juga : KKN di Desa Penari (Versi Nur)
Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibuk juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.
saat Widya masuk dan
melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu di penuhi orang yang duduk
bersila, mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya di tutup
selendang, di ikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap
kaget saat Widya masuk.
"Wid, tekan ndi
awakmu?" (darimana kamu Wid?) ucap Nur yang langsung memeluk Widya.
"onok opo iki Nur?" (ada Apa ini Nur)
Nur menutup mulutnya, tidak tau harus memulai darimana, sampai Wahyu berdiri, "Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa di tutup"
"onok opo iki Nur?" (ada Apa ini Nur)
Nur menutup mulutnya, tidak tau harus memulai darimana, sampai Wahyu berdiri, "Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa di tutup"
Widya mendekati Ayu,
di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat
itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi, matanya kosong melihat
langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut
menjerit sebelum ada yg menenangkan
dari Pawon, mbah
Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya.
"sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi" (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)
mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakanya. "Koncomu wes kelewatan"
"sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi" (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)
mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakanya. "Koncomu wes kelewatan"
"Pripun
mbah?" (bagaimana mbah?)
"yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?)
Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, "nyoh, di ombe sek" (nih, di minum dulu)
"yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?)
Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, "nyoh, di ombe sek" (nih, di minum dulu)
Widya menyesap kopi
dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang monohok membuat tenggorokan Widya
seperti di cekik, membuat Widya memuntahkanya, begitu banyak muntahan air liur
Widya yang keluar, ia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk. seperti
memastikan.
"koncomu,
ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh
bangsa demit" (temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa di terima
manusia, apalagi bangsa halus) kata mbah Buyut sembari geleng kepala.
"paham ndok" (paham nak)
Widya mengangguk.
"paham ndok" (paham nak)
Widya mengangguk.
"Sinden sing di
garap, iku ngunu, Sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing
mok parani wingi bengi" (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di
dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi)
"eroh opo iku sinden?" (tahu kegunaan Sinden?)
"eroh opo iku sinden?" (tahu kegunaan Sinden?)
"mboten
mbah" (tidak tahu mbah)
"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon"
"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon"
(Sinden itu tempat
mandinya para penari sebelum tampil, nah, sinden yang di dekat sungai tidak
apa-apa di kerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh di datangi, apalagi
di pakai kawin)
"Widya ngerti,
sopo sing gok Sinden iku?" (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu)
Widya diam lama, sebelum mengatakanya. "Ular mbah"
"nggih. betul" "sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo" (yg kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama)
"Ular itu mbah"
mbah buyut mengangguk
Widya diam lama, sebelum mengatakanya. "Ular mbah"
"nggih. betul" "sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo" (yg kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama)
"Ular itu mbah"
mbah buyut mengangguk
"iku ngunu,
mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno Awu awu, ben si mbah ngawasi Widya,
tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes di incer karo" (itu, mbah
yang kecolongan, Widya cuam di jadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi
kamu, tapi mbah salah, dari awal,
yang di incar sama)
mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. "
"ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali?)
"isok isok" kata mbah Buyut, "sampe balak'e di angkat"
mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. "
"ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali?)
"isok isok" kata mbah Buyut, "sampe balak'e di angkat"
"balak'e di
angkat mbah" (bencananya di angkat) kata Widya, bingung.
"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni" (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)
"Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)
"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni" (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)
"Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)
(Ayu sekarang harus
menari mengelilingi Hutan ini)
"sak angkule nari, sadalan-sadalan" (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)
"Bima mbah?"
"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden" (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden)
"Badarawuhi mbah"
Mbah buyut kaget.
"sak angkule nari, sadalan-sadalan" (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)
"Bima mbah?"
"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden" (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden)
"Badarawuhi mbah"
Mbah buyut kaget.
"oh ngunu"
(oh begitu) "wes eroh jeneng'e" (sudah tahu namanya)
"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari"
"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari"
(Badarawuhi itu
salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa
lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus
menggantikanya)
"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo"
"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo"
(Bima harus
mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir
ribuan ular)
"salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate" (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)
"salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate" (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)
"Badarawuhi iku
ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok di
tolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an,
wedihku, koncomu ra isok balek orep2"
(Badarawuhi itu
ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukanya, gak bisa di
tolak apalagi sampai di buang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik,
takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup2)
mbah buyut pergi,
Nur, Wahyu dan Anton melihat Widya sendirian di pawon, duduk, sembari
termenung.
"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t)
kaimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.
"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t)
kaimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.
meski yang di
ucapkan Wahyu itu kasar, namun tidak ada yang keberatan dengan semua itu,
terlebih, masalah ini sudah sampai ke pihak kampus, bahkan ke keluarga Bima dan
Ayu.
pak Prabu
menceritakan bahwa kronologi kejadian ini sudah tidak bisa mereka bendung, KKN
yang menjadi tanggung jawab beliau, harus sampai, ke semua orang yang terlibat,
meski awanya Nur mencoba memohon agar masalah ini jangan sampai keluar dulu,
namun, hilangnya Widya, membuat
Pak Prabu akhirnya
menyerah dan memilih melaporkanya.
lalu apa yang
terjadi sama Ayu dan Bima?
Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari pak Prabu.
Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh.
Bima, masih kejang2
Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari pak Prabu.
Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh.
Bima, masih kejang2
well ada yang mau
lihat foto mereka?
maaf maaf,
Aib!!
soal mobil, gw gak paham. intinya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw bakal lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang bersangkutan. di selesaiin saja malam ini, biar gw bisa fokus kerja. lagi. tapi serius pengen lihat foto mereka?
soal mobil, gw gak paham. intinya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw bakal lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang bersangkutan. di selesaiin saja malam ini, biar gw bisa fokus kerja. lagi. tapi serius pengen lihat foto mereka?
gw cuma moto dari
hape, karena fotonya di cetak di art paper, dan gw cuma bisa bilang, Bima sama
Ayu, cantik dan ganteng memang. karena itu gw berani gambarin fisiknya si Bima.
gw lanjut ya
sebenarnya, proses
penjemputan gak semudah yang bakal gw tulis, karena pihak keluarga Bima maupun
Ayu, marah besar, mereka tidak terima anaknya di bikin seperti ini.
bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional,
bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional,
Widya, Nur sampai
harus mohon agar Ayu dan Bima di biarkan tetap tinggal disini, yang konon kata
Mbah Buyut bisa saja balaknya di ambil sewaktu waktu, namun, dari pihak keluarga
Ayu dan Bima, tidak mau lagi, mereka tetap membawa Ayu dan Bima, hasilnya?
Ayu hanya bisa tidur
dengan mata terbuka terus menerus, Widya pernah di ceritain oleh ibunya, bahwa
kadang, ia melihat mata Ayu meneteskan air mata, tapi, setiap di tanya, dia hanya
diam, tak menjawab, Ayu akhirnya meninggal setelah 3 bulan di rawat. abangnya,
merasa bersalah
sampai hampir mau
mengamuk di desa itu, namun, pak Prabu pun sama, seharusnya sejak awal, saat
Ayu memohon di ijinkan KKN disana, ia tegas menolak, alasanya, memang tempat
itu tidak baik untuk di tinggali mereka yang masih bau kencur.
Bima??
bagaimana?? meninggal juga, Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa?
Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang-
bagaimana?? meninggal juga, Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa?
Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang-
masalah ini sama
pihak kampus, tapi akhirnya di cabut, dengan catatan, KKN tidak lagi di adakan
di timur jawa lagi, sejak saat itu, kampus ini, hanya memperbolehkan KKN ke
arah barat, tidak lagi timur, apalagi Desa yang jauh.
ada hal yang bikin
gw radak susah gambarin adalah, narasumber (Widya) disamarkan, setiap beliau
bercerita, beliau hanya menceritakan intinya, dan gw harus ngatur ulang
ceritanya agar nyambung, terlepas dari itu, gw inget, tiap dia cerita, tanganya
gugup, seperti -
tidak mau mengulang
peristiwa itu. apapun itu, gw berharap cerita ini mengandung hikmah bagi kalian
yang membacanya,
untuk peserta KKN nya pun sebenarnya bukan 6 orang, tapi 14 orang, gw perpendek untuk mempersingkat cerita beliau yang saling berkaitan satu sama lain
untuk peserta KKN nya pun sebenarnya bukan 6 orang, tapi 14 orang, gw perpendek untuk mempersingkat cerita beliau yang saling berkaitan satu sama lain
untuk kesalahan,
pengetikan, dan bikin kentangnya, gw mohon maaf sebesar-besarnya.
memang benar, manusia itu merasa besar, padahal sesungguhnya ada kebesaran lain yang membuat manusia gak ada apa-apanya di balik kalimat kecil, dimanapun kalian berada, junjung tata krama-
memang benar, manusia itu merasa besar, padahal sesungguhnya ada kebesaran lain yang membuat manusia gak ada apa-apanya di balik kalimat kecil, dimanapun kalian berada, junjung tata krama-
saling menghormati,
saling menjaga satu sama lain, dan senantiasa bersikap layaknya manusia yang
beradab.
gw simple_Man undur diri, untuk waktu yang tidak di tentukan.
(kalau yang bersangkutan memperbolehkan post fotonya, akan gw post kok nanti) sampai jumpa. #bacahorror
gw simple_Man undur diri, untuk waktu yang tidak di tentukan.
(kalau yang bersangkutan memperbolehkan post fotonya, akan gw post kok nanti) sampai jumpa. #bacahorror
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.