ANTARA BUDAYA, HUKUM, DAN UANG - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    ANTARA BUDAYA, HUKUM, DAN UANG

    ANTARA BUDAYA, HUKUM, DAN UANG
    Yudha BJ Nugroho
                Belakangan ini masalah kebakaran hutan begitu menyeruak di berbagai media massa, baik media elektronik maupun media cetak. Hal yang paling di sayangkan, mengingat Indonesia memiliki sumberdaya hutan yang begitu besarnya dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Ini menjadikan Indonesia termasuk negara dengan  sandangan nama Mega Biodiversity. Kebakaran hutan yang terjadi berbulan-bulan ini mengancam ‘gelar’ yang telah ada pada nama Indonesia saat ini.
                Bila di tilik kebelakang, permasalahan kebakaran hutan ternyata terjadi pula di Kalimantan. Padahal sejak dahulu jarang bahkan tidak ada berita mengenai kabut asap di Kalimantan tentu ini karena telah banyak perusahaan perkebunan yang membuka konsesi di Kalimantan. Perusahaan perkebunan ini ternyata berlindung pada suatu budaya yang ada pada masyarakat adat Dayak. Bagaimana bisa?

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

                Masyarakat adat Dayak merupakan suku asli Kalimantan bersama dengan Suku Banjar yang juga merupakan bagian dari suku Dayak juga. Masyarakat yang tinggal dengan kearifan lokalnya, hidup berdampingan dengan hutan sehingga, menjaga hutan tetap lestari adalah hal yang mutlak. Hidup dengan tipe berladang berpindah merupakan kebiasaan masyarakat Dayak, dan membakar lahan juga merupakan bagian dari budaya tersebut. Masyarakat Dayak yang telah membuka lahan dan bercocok tanam di areal tertentu, semakin lama akan menyadari bahwa kesuburan akan menurun dan wajib berpindah tempat lagi untuk bercocok tanam kembali, karena mereka tidak menggunakan pupuk.
                Membakar sisa hasil bercocok tanam dan ranting-ranting adalah yang mereka lakukan, dengan areal lahan yang tidak sampai 2 Ha, namun mereka tetap menjaga dan mengontrol api sampai benar-benar padam dan lahan siap mereka tinggalkan karena mereka tidak ingin ‘leluhur’ mereka (hutan) rusak. Inilah yang menjadi prinsip pengelolaan hutan lestari masyarakat Dayak, dan setelah dua tahun ditinggalkan, dan mereka kembali kedaerah tersebut, kembali subur dan siap digarap kembali.
                Budaya inilah yang dipertahankan oleh pemerintah daerah di Kalimantan, sehingga mereka membuat kebijakan diperbolehkannya membakar lahan namun dengan izin Bupati, atau Camat, atau Kades, bahkan RT, atas dasar menjaga budaya dan daerah dapat ikut mengontrol terjadinya titik api. Perda inilah yang dijadikan dalil bagi perusahaan perkebunan yang membuka lahan dengan ‘ikut-ikutan’ membakar lahan. Bedanya mereka membakar namun tidak diawasi dan di control, sehingga api membesar dan merambat tanpa terkendali, setelah terjadi seperti itu mereka tutup mata, tutup telinga dan seakan tidak terjadi apa-apa.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

                Kini hilanglah hutan yang telah dijaga masyarakat adat Dayak selama ratusan tahun turun-temurun. Kearifan local dan budaya mereka diikuti pihak yang tidak bertanggung jawab hanya karena mengejar harta. Tanah keramat mereka berubah menjadi debu dalam sekejab, kesejukan dan kesegaran udara hilang sirna seiring munculnya asap dimana-mana.

    Itulah ironi ‘Antara Budaya, Hukum dan Uang’.

    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad