Dibalik Polemik Nasi Padang Babi dan Sertifikasi Halal - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    Dibalik Polemik Nasi Padang Babi dan Sertifikasi Halal

     

    Sumber : https://i.gojekapi.com/darkroom/gofood-indonesia/v2/images/uploads/2d0d31cf-a715-4dfb-816e-9b967b2cd449_IMG_20201201_214725_413.jpg?h=636&w=1082&fit=crop&auto=compress

        Setelah sekian lama hiatus dari menulis karena kesibukan, Penulis merasa tergerak kembali untuk mengetikkan beberapa pandangan atas polemik yang berkembang saat ini tentang Nasi Padang Babi. Mungkin bagi sebagian kalangan, ada yang menganggap hal ini lebay atau berlebihan, karena terkait bumbu masak kok bisa sampai se-heboh ini.

        Bagi Suku Minang, yang dalam hal ini berkaitan erat dengan Nasi Padang, masakan ini sudah mendarah daging dan menjadi budaya Minang. Suku ini bisa dipastikan 99% adalah muslim, dan secara otomatis pula masakan Nasi Padang 100% halal. Bahkan terkait dengan Suku Minang sendiri ada yang menyatakan jika, Suku minang haruslah muslim, bila ia keluar dari Islam, maka ia pun sudah tidak diakui sebagai orang minang. Dalam hal teguhnya Suku Minang ini dengan Islam sebagai agamanya, sampai menjadi pepatah dan semboyan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

        Banyak cerita, bahkan diluar negeripun para diaspora Indonesia yang merasa sulit untuk menemukan makanan halal, akan sangat senang dan tenang jika menemukan warung Nasi Padang disana, karena apa, pasti sudah dijamin halal, tanpa perlu menunjukkan sertifikat halal.

        Mari kita mundur kebelakang, sejenak membuka ingatan kita terkait Sertifikasi Halal, yang beberapa bulan lalu juga sempat mengemuka, atas diluncurkannya logo halal yang baru versi Kementerian Agama bermodelkan gunungan wayang, dengan kaligrafi halal yang terkesan dipaksakan, dan berwarna ungu. Padahal selama ini kita tahu, dan sangat familiar, jika sertifikasi halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan logo hijau-putihnya.

        Berkaitan dengan logo halal yang baru ini, bahkan Pemerintahpun secara tegas akan menggunakan penuh, dan mulai kedepannya logo halal MUI akan tidak berlaku lagi. Maka otomatis pula, perizinan terkait dengan kehalalan produk akan diambil secara penuh oleh Kementerian Agama. Entah apa maksud dari dikeluarkannya logo dan peraturan baru ini. Pemerintah berdalih untuk lebih ‘mengindonesia’ karena memakai model gunungan wayang, tapi apa iya sepenting itu sampai mengalihkan perizinan yang selama ini tidak ada polemik, adem ayem, dan tenang – tenang saja.

        Sikap masyarakatpun beragam atas peraturan baru ini, diberbagai daerah ada yang menolak karena logo yang baru ini justru tidak ‘mengindonesia’ karena hanya memakai model gunungan wayang yang sangat lekat dengan Suku Jawa. Disamping itu, urgensi dari penggantian logo ini sangat lekat dengan kepentingan politik, untuk mengesampingkan MUI dalam pengambilan keputusan pemerintah.

        Hal yang lebih keras, bahkan ada yang menganggap ini dengan ‘bagi – bagi kue’ yang tidak merata. Bagaimana bisa perizinan produk halal justru dilakukan sekelas Organisasi Kemasyarakatan, bukan oleh Kementerian Agama. Padahal pemasukan dari biaya perizinan ini cukup lumayan apalagi disertai dengan perpanjangan setiap tahunnya, cuan dan cuan.

        Alhasil dengan berbagai polemik yang ada, sikap masyarakat atas logo halal yang baru inipun cenderung skeptis dan acuh, seakan ini keputusan yang mengada – ada.

        Kembali ke masalah Nasi Padang Babi. Bukan tidak mungkin, beberapa saat lagi pemerintah akan mengeluarkan kebijakan wajib sertifikasi halal Kementerian Agama untuk warung makan entah apapun itu, kecuali memang dia menampilkan tagline masakan non-halal. Otomatis dengan kebijakan ‘memaksa’ inilah masyarakat akan berbondong – bondong mengurus izin halal, dan tentu dengan logo baru itu.

        Penulis sudah beranggapan demikian, diawal mengemukanya berita Nasi Padang Babi. Ini seperti berita yang sengaja diangkat untuk mendukung kebijakan sertifikasi halal yang baru, karena cara lama sosialiasi logo baru yang kemarin malah mendapat penilaian negatif. Cara – cara jualan kebijakan yang justru bukan meyakinkan, malah dengan menjatuhkan pamor suatu budaya, dan tentu menyakiti hati pemilik budaya itu sendiri.

        --------------------

        Schrijver.

        Copyright. ©. 2022. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.

        

    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad