Banjir Bandang Kalimantan Selatan : Siapa yang Salah ? - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    Banjir Bandang Kalimantan Selatan : Siapa yang Salah ?

    Banjir Bandang Kalimantan Selatan : Siapa yang Salah ?

        Bencana alam silih berganti masih menghiasi negeri ini. Gempa, tanah longsor, hingga banjir bandang cukup membuat publik tersadar akan pentingnya nyawa dan kesempatan. Peristiwa banjir bandang yang melanda Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menimbulkan berbagai spekulasi atas penyebab dari bencana tersebut.

    Walhi : Presiden Jangan Hanya Salahkan Hujan, Panggil Juga Perusahaan Tambang. Ilustrasi. Sumber : https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwimlZ3C967uAhXHV30KHbK3AsIQFjAAegQIAxAC&url=https%3A%2F%2Fnasional.kompas.com%2Fread%2F2021%2F01%2F19%2F15455671%2Fbanjir-kalsel-walhi-presiden-jangan-hanya-salahkan-hujan-panggil-juga%3Fpage%3Dall&usg=AOvVaw3K_HN_rlUNmBY2zx_G7qe-

        Banyak pihak yang meyebut jika banjir di Kalsel disebabkan oleh maraknya perusahaan tambang dan sawit yang beroperasi di provinsi tersebut. Dengan masifnya perusahaan ini, menimbulkan pembukaan wilayah hutan secara besar – besaran dan menghilangkan fungsi hutan sebagai penjaga lingkungan.

        Namun apakah tudingan ini benar ?

        Apakah perusahaan tambang dan sawit murni sebagai pelaku utama ?

        Menurut Penulis, tudingan atas perusahaan ini tidak sepenuhnya benar. Kesalahan dan penyebab dari banjir bandang ini harus dilihat dari kacamata yang luas. Namun jangan pula langsung menuduh hujan sebagai penyebab banjir. Tudingan atas hujan ini, sebagai pemikiran tumpul dan sekadar menyalahkan tanpa naluri selidik. Karena apa,

        Hujan ngga bisa ngomong, dituduh apapun ya diam aja.

    Banjir Kalsel. Ilustrasi. Sumber : https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwir_eO1-K7uAhUWeysKHfntCr8QFjAAegQIAhAC&url=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fsawit-tambang-dan-penggundulan-hutan-biang-bencana-di-kalsel-f9nu&usg=AOvVaw3sUWFBuEUv1qwCDmnJsvVe

        Hasil diskusi Penulis dengan salah seorang praktisi hukum menyimpulkan, jika Perusahaan, Pemerintah, bahkan Masyarakat ikut berpartisipasi sebagai pihak yang bersalah dalam peristiwa banjir bandang ini.

        Loh kok bisa ?

        Mari kita berfikir netral dan menyelidiki bagaimana sebuah perusahaan dapat beroperasi secara legal di suatu wilayah. Tentu awalnya adalah proses perizinan. Izin dari pembukaan lokasi tambang ataupun sawit, tergantung atas wilayah yang dimohonkan. Jika wilayah dimohon berada pada lintas provinsi maka kewenangan ada pada Presiden melalui Menteri terkait. Jika dalam lintas kabupaten/kota maka mejadi kewenangan Gubernur.

        Dari penjelasan ini dapat dilihat perusahaan tambang yang dituding menjadi penyebab bencana ini memiliki izin lokasi lintas provinsi, yaitu pada Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, silahkan gunakan mesin pencari untuk menemukan nama perusahaan tersebut.

        Perusahaan mengajukan izin pada pemerintah, lalu dikaji keabsahannya oleh dinas dan kementerian terkait. Jika disetujui, maka sahlah izin usaha tersebut. Perusahaan tentu sebagai badan usaha tunduk terhadap peraturan yang dibuat oleh negara. Kewajiban lingkungan, konservasi, sampai aspek keselamatan tentu dipenuhi, dan instansi pemerintah yang diberi kewenangan untuk menindak dan menegur melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat.

        Silahkan dicek di dinas terkait, apakah perusahaan yang dituduhkan, selama ini mangkir atas kewajiban lingkungan sehingga menyebabkan banjir?.

        Pihak terakhir tentu masyarakat. Dalam pengurusan Hak Guna Usaha (HGU), perusahaan tentu akan berhadapan dengan masyarakat sebagai pemilik lahan setempat, yang secara historis dikuasai secara perorangan atau kelompok.

        Jika status wilayah tersebut adalah Tanah Negara Bebas (TNB), mungkin tidak menyebabkan kesulitan berarti, namun jika wilayah tersebut telah dikuasai oleh individu, tentunya ada perjanjian Tali Asih (TA) yang harus dipenuhi, sebagai bukti bahwa dari masyarakat telah menyerahkan status penguasaan tanah setempat pada perusahaan.

        Meskipun tanah yang diklaim masih berupa surat Pejabat Pembuat Akta Tanah (SPPAT) yang dikeluarkan oleh Camat dan belum Sertifikat Hak Milik (SHM), keduanya memiliki payung hukum, meskipun tingkat kekuatannya berbeda. Dalam hal ini dalam pengurusan Tali Asih pasti ada kesepakatan harga yang sesuai.

        Kasus ini spesial, meskipun perusahaan telah melakukan segala upaya, berulang kali negosiasi harga, namun masyarakat menolak memberikan tanah tersebut, sebenarnya perusahaan tidak dapat bergerak apa – apa, dan dalam pengurusan HGU, wilayah yang ditolak harus dikeluarkan dari peta izin (Enclave).

        Jika saja dulu masyarakat berpandangan visioner seperti ini;

    “kami tidak akan menyerahkan tanah di wilayah ini, karena hutannya adalah penjaga kami, dan akan berakibat buruk dikemudian hari, karena wilayah ini termasuk wilayah hulu sungai”.

    Sampai kapanpun perusahaan tidak akan berdaya.

    Sekarang kita lihat, banjir telah terjadi, perusahaan dituding sebagai pelaku utama.

    Jangan serta – merta menuduh perusahaan, lihatlah dari kacamata yang berbeda.

    ----------------

    Schrijver.

    Copyright. ©. 2021. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.

    Subscribe.

    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad