Banjir Bandang Kalimantan Selatan : Siapa yang Salah ?
Banjir Bandang Kalimantan Selatan : Siapa yang Salah ?
Bencana alam silih berganti masih menghiasi
negeri ini. Gempa, tanah longsor, hingga banjir bandang cukup membuat publik
tersadar akan pentingnya nyawa dan kesempatan. Peristiwa banjir bandang yang melanda
Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menimbulkan berbagai spekulasi atas
penyebab dari bencana tersebut.
Banyak pihak yang meyebut jika banjir di
Kalsel disebabkan oleh maraknya perusahaan tambang dan sawit yang beroperasi di
provinsi tersebut. Dengan masifnya perusahaan ini, menimbulkan pembukaan
wilayah hutan secara besar – besaran dan menghilangkan fungsi hutan sebagai
penjaga lingkungan.
Namun apakah tudingan ini benar ?
Apakah perusahaan tambang dan sawit murni
sebagai pelaku utama ?
Menurut Penulis, tudingan atas perusahaan
ini tidak sepenuhnya benar. Kesalahan dan penyebab dari banjir bandang ini
harus dilihat dari kacamata yang luas. Namun jangan pula langsung menuduh hujan
sebagai penyebab banjir. Tudingan atas hujan ini, sebagai pemikiran tumpul dan
sekadar menyalahkan tanpa naluri selidik. Karena apa,
Hujan ngga bisa ngomong, dituduh apapun ya diam aja.
Hasil diskusi Penulis dengan salah seorang
praktisi hukum menyimpulkan, jika Perusahaan, Pemerintah, bahkan Masyarakat
ikut berpartisipasi sebagai pihak yang bersalah dalam peristiwa banjir bandang
ini.
Loh
kok bisa ?
Mari kita berfikir netral dan menyelidiki
bagaimana sebuah perusahaan dapat beroperasi secara legal di suatu wilayah.
Tentu awalnya adalah proses perizinan. Izin dari pembukaan lokasi tambang
ataupun sawit, tergantung atas wilayah yang dimohonkan. Jika wilayah dimohon
berada pada lintas provinsi maka kewenangan ada pada Presiden melalui Menteri
terkait. Jika dalam lintas kabupaten/kota maka mejadi kewenangan Gubernur.
Dari penjelasan ini dapat dilihat perusahaan
tambang yang dituding menjadi penyebab bencana ini memiliki izin lokasi lintas
provinsi, yaitu pada Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah,
silahkan gunakan mesin pencari untuk menemukan nama perusahaan tersebut.
Perusahaan mengajukan izin pada pemerintah,
lalu dikaji keabsahannya oleh dinas dan kementerian terkait. Jika disetujui,
maka sahlah izin usaha tersebut. Perusahaan tentu sebagai badan usaha tunduk terhadap peraturan yang dibuat oleh
negara. Kewajiban lingkungan, konservasi, sampai aspek keselamatan tentu
dipenuhi, dan instansi pemerintah yang diberi kewenangan untuk menindak dan
menegur melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat.
Silahkan dicek di dinas terkait, apakah
perusahaan yang dituduhkan, selama ini mangkir atas kewajiban lingkungan
sehingga menyebabkan banjir?.
Pihak terakhir tentu masyarakat. Dalam
pengurusan Hak Guna Usaha (HGU), perusahaan tentu akan berhadapan dengan
masyarakat sebagai pemilik lahan setempat, yang secara historis dikuasai secara
perorangan atau kelompok.
Jika status wilayah tersebut adalah Tanah
Negara Bebas (TNB), mungkin tidak menyebabkan kesulitan berarti, namun jika
wilayah tersebut telah dikuasai oleh individu, tentunya ada perjanjian Tali
Asih (TA) yang harus dipenuhi, sebagai bukti bahwa dari masyarakat telah
menyerahkan status penguasaan tanah setempat pada perusahaan.
Meskipun tanah yang diklaim masih berupa
surat Pejabat Pembuat Akta Tanah (SPPAT) yang dikeluarkan oleh Camat dan belum
Sertifikat Hak Milik (SHM), keduanya memiliki payung hukum, meskipun tingkat kekuatannya berbeda. Dalam hal ini dalam pengurusan Tali Asih pasti ada
kesepakatan harga yang sesuai.
Kasus ini spesial, meskipun perusahaan telah
melakukan segala upaya, berulang kali negosiasi harga, namun masyarakat menolak
memberikan tanah tersebut, sebenarnya perusahaan tidak dapat bergerak apa –
apa, dan dalam pengurusan HGU, wilayah yang ditolak harus dikeluarkan dari peta
izin (Enclave).
Jika saja dulu masyarakat berpandangan visioner seperti ini;
“kami tidak akan menyerahkan tanah di wilayah
ini, karena hutannya adalah penjaga kami, dan akan berakibat buruk dikemudian
hari, karena wilayah ini termasuk wilayah hulu sungai”.
Sampai
kapanpun perusahaan tidak akan berdaya.
Sekarang
kita lihat, banjir telah terjadi, perusahaan dituding sebagai pelaku utama.
Jangan
serta – merta menuduh perusahaan, lihatlah dari kacamata yang berbeda.
----------------
Schrijver.
Copyright.
©. 2021. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.