Kondisi Kesehatan Jakarta di Awal Kemerdekaan
BAGI Annie
Senduk, kepala perawat di asrama kedokteran Jalan Kramat Raya 72 Jakarta, dan
para tenaga kesehatan lain, mengatur jalannya layanan kesehatan di tengah
krisis perang merupakan tantangan sulit. Selain harus berjibaku melawan
penyakit tinggalan Jepang yang diderita rakyat, mereka juga harus siap membantu
para pejuang di medan perang.
Ilustrasi Palang Merah Indonesia di masa perang.. Ilustrasi. Sumber : https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/attachment/97151469675154694002.large |
Pada akhir kekuasaan Jepang, disentri merupakan satu dari beberapa penyakit paling banyak menyerang penduduk kota Jakarta. Ia menginfeksi 2.156 orang dengan rata-rata 150-600 orang di antaranya meninggal dunia. Menurut laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Jakarta, banyaknya warga yang terjangkit disebabkan oleh kurangnya bahan makan dan buruknya kebersihan lingkungan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Selama
pendudukan Jepang, Bagian Penyakit Rakyat di DKK memiliki total 204.353 pasien.
Sebanyak 42.506 di antaranya penderita malaria. Frambosia juga banyak diderita
penduduk di kampung-kampung, dengan 26.508 pasien terdaftar. Sementara penyakit
Honger Oedeem (busung lapar) dilarang dicatat oleh penguasa meski sebenarnya
banyak ditemukan.
Belum sempat
mengatasi masalah kesehatan yang ditimbulkan pada masa Jepang itu, para tenaga
kesehatan dihadapkan pada kedatangan Sekutu yang disusul NICA. Pertempuran yang
terjadi kemudian mengharuskan mereka ikut terjun menyelamatkan nyawa para
pejuang meski akibatnya para perawat, dokter, mantri, dan bidan berguguran di
medan perang.
DKK amat
kekurangan tenaga kesehatan. Jumlah dokter di Jakarta yang semula 26 orang
berkurang karena sebagain memilih berpihak ke NICA, mengungsi ke pedalaman,
atau kembali ke negaranya. Alhasil, jumlah dokter pro-republik yang tersisa di
Jakarta hanya 14 orang. Mereka bahu-membahu dengan perawat, bidan, mantri, dan
mahasiswa kedokteran menjalankan layanan kesehatan.
Para tenaga
kesehatan yang amat terbatas itu mesti bekerja dengan minimnya alat-alat
kedokteran dan obat-obatan. Jumlah rumah sakit saat itu amat sedikit. Para
dokter seringkali harus mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi kebutuhan alat
praktik. Beruntung ada bantuan Palang Merah sehingga DKK bisa membangun 83 pos
pertolongan pertama pada kecelakaan yang tersebar di Jakarta.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
“Kami dan
para mahasiswa kedokteran membentuk regu-regu penolong para korban perang,”
kata Annie Senduk testimoninya di kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku
bagi Ibu Pertiwi. Perawat dan mahasiswa kedokteran di Rumah
Sakit Cikini, sambung Annie, ikut mengatur pos-pos Palang Merah untuk menangani
korban yang berjatuhan. Hotel Du Pavilion digunakan sebagai gudang perbekalan
dan obat-obatan.
Nahas,
lokasi itu kemudian diketahui NICA. Begitu mengetahui NICA hendak merebut Hotel
Du Pavilion, para tenaga kesehatan berunding untuk mengatur strategi. Mereka
berusaha memindahkan barang-barang ke luar kota karena di Klender dan Bekasi
obat dan logistik sedang amat dibutuhkan.
Setelah
berhasil meminjam mobil dari Rumah Sakit Cikini, dokter-dokter Suwardjono
Suryaningrat, Mahar Merdjono, Hussein Odon, Yusuf, dan Alex Kaligis datang
untuk menjadi supir. “Mereka datang dengan baju yang lusuh dan muka yang
kuyu karena tidak mandi. Persis seperti supir-supir truk angkutan jarak jauh,
kumal,” kata Annie.
Sementara,
Rumah Sakit Budi Kemulyaan (RSBK) memegang peran penting dalam layanan
persalinan. RSBK membuka pelatihan tentang persalinan untuk para gadis. Sepanajang
1945-1947 ada 163 gadis yang mengukuti pendidikan kebidanan di rumah sakit ini.
Namun, dari 6 biro konsultasi kebidanan yang dimiliki RSBK pada pertengahan
1946, jumlahnya berkurang karena beberapa biro ditutup lantaran kekurangan
pegawai. Selama 20 bulan, RSBK telah menolong 1157 wanita hamil.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Selain
karena perang, kematian penduduk disebabkan beragam penyakit. Berdasarkan
laporan Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Kotapradja Djakarta
Raja Sepanjang 1946, DKK mencatat ada 25.248
kematian dalam setahun dengan 21.002 di antaranya merupakan orang Indonesia.
Kematian karena disentri mencapai 2930 orang dengan 256 di antaranya merupakan
bangsa Indonesia.
Malaria juga
menjadi penyakit mematikan yang mengancam warga Jakarta. Sepanjang 20 bulan
setelah kemerdekaan, tercatat ada 421.195 orang berobat karena malaria. Untuk
menanggulanginya, DKK akhirnya membagikan kina ke penduduk.
Penyakit-penyakit
yang juga menyerang warga Jakarta antara lain: typhus abdominalis (545
pasien), para typhus (21 pasien), dan frambusia (8574 pasien).
RS rakyat Bidara Tjina berperan penting membantu ketersediaan layanan kesehatan
dengan menampung pasien-pasien yang tidak mampu ditangani Rumah Sakit Perguruan
Tinggi (RSPT).
Namun,
perjuangan tenaga kesehatan saat itu bukan semata menangani pasien dan
penyediaan bantuan kesehatan untuk para pejuang, tapi harus siap mempertahankan
kedaulatan kesehatan republik. Seluruh pegawai kesehatan menolak ketika DKK
hendak diambil alih Gemeente Batavia pada 18 Januari 1948. Mereka mengancam
meninggalkan kantor dan balai-balai pengobatan dan lebih memilih menjalankan
pengobatan rakyat di pasar-pasar dibanding bekerja di bawah Gemeente Batavia.
Sikap tegas mereka itu disambung dengan munculnya perjanjian Renville yang
menggagalkan niat Gemeente Batavia untuk mengambil alih DKK.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Usaha keras
mereka untuk mempertahankan bagian penting dari pemerintah republik untuk
kepentingan masyarakat di kota Jakarta itu kembali terusik ketika Gemeente
Djakarta kembali berusaha mengambil alih DKK pada 24 Agustus 1948. Mereka juga
diusir setelah RSPT diambil alih oleh NICA. Tenaga kesehatan yang menolak
bekerja untuk Belanda diminta untuk angkat kaki dari sana.
“Serta-merta
seluruh dokter dan pegawai rumah sakit ramai-ramai keluar dari pintu rumah
sakit sambil tertawa dan mencemooh tantara Belanda,” kata GA Siwabessy dalam
biografinya, Upuleru.
Meski DKK
sebagai salah satu Djawatan pemerintah Kota Djakata gagal dipertahankan, para
dokter tak habis akal. Bersama rekan dokter asli Jakarta yang dengan senang
hati menampung, mereka lalu melanjutkan pemberian layanan kesehatan. Siwabessy,
yang ditampung di rumah dokter Mursadik, kemudian membuka praktik bersama
dokter Sarlono di garasi rumah Sarlono demi kepentingan kesehatan warga
Jakarta. Profesor Moh. Ali Hanafiah dan Bahder Djohan juga membuka poliklinik
di garasi rumah Hanafiah. “Klinik darurat ini diakui sebagai poliklinik resmi
RI,” kata Siwabessy.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Di sanalah
para dokter RSPT ramai-ramai menyediakan layanan kesehatan di masa krisis
perebutan kekuasaan sampai posisi DKK kembali ke tangan Republik setelah
pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Oleh : Nur
Janti
----------------
Schrijver.
Copyright.
©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.