Mundurkah Rasa Nasionalisme Kita Saat Ini ?
Sudah
lebih setengah abad negeri ini ‘diakui’ merdeka, dalam pengertian bahwa jika
suatu bangsa memerintah secara mandiri bukan dalam koloni pemerintahan bangsa
lain. Sepanjang waktu itu pula negeri ini telah melahirkan pemimpin – pemimpin
yang banyak mengeluarkan keputusan berharga.
Diawal
masa kemerdekaan tentu rasa nasionalisme di dada para warga negara saat itu
sangatlah besar. Harapan dan semangat untuk hidup lebih baik diluar koloni
bangsa lain tentu menggelora. Meskipun diawal kemerdekaan, negara masih
membutuhkan banyak dukungan demi pembangunan, tidak menyurutkan rasa cinta pada
negeri yang masih seumur jagung.
Gambar 1 : Anak dan Bendera (Sumber : https://bersatoe.com/wp-content/uploads/2016/02/Anak-dan-bendera.jpg) |
Silih
berganti pemimpin negeri, tentu berganti pula masalah dan cobaan yang menerpa
negara. Mulai dari peristiwa reformasi, banyak skandal korupsi, bencana alam
tsunami, hingga di tahun 2020 ini, virus corona atau yang saat ini lebih
dikenal dengan Covid19.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Virus
ini segera naik daun semenjak kemunculannya di akhir bulan Januari menjelang
perayaan Imlek di Negara Tiongkok. Secara cepat menyebar dan ‘menginvasi’
seluruh belahan dunia. Terlepas dari teori konspirasi yang beredar.
Kabar
menyebarnya virus ini sampai juga di Indonesia. Entah saat itu pemerintah kita
mempunyai pertimbangan apa, mereka cenderung mengeluarkan statement yang
menampik bahwa virus ini dapat hidup dan berkembang di Indonesia. Praktis statement
ini membuat masyarakat kita menjadi jumawa, dan terkesan abai.
Eh,
ternyata beberapa minggu setelah itu, pemerintah mengumumkan secara resmi jika
ada warga negara yang positif terindikasi Covid19. Beberapa hari setelah
pengumuman resmi itu, bak bola salju, penderita positif Covid19 semakin
bertambah, pemerintahpun menganjurkan untuk memakai masker medis, dan jika
memakai masker kain tidak cukup untuk menghambat penularan virus.
Seketika
karena pernyataan itu, masker medis menjadi barang komoditas primer, harga
melonjak dan persediaan melangka. Menjadi sangat prihatin karena justru para
tenaga medis tidak mendapatkan stok distribusi masker tersebut, karena diborong
masyarakat.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Nah, saat tulisan ini dibuat (08 April 2020),
Penulis mendapatkan kabar jika pemerintah menganjurkan warga untuk memakai
masker kain karena dapat menangkal virus hingga 70%, serta masker medis hanya
untuk tenaga medis saja.
Coba
berfikir atas kasus diatas, jika ada pertanyaan,
“Siapa
yang membuat masker medis menjadi langka, harga naik, hingga petugas medis
kesulitan mendapatkan?”
Jawabannya
ya pemerintah sendiri, yang diawal membuat keputusan tanpa berfikir kedepannya
seperti apa, keputusan gegabah, dan akhirnya membuat sulit dan ketika sadar
baru direvisi.
Jika
diperhatikan, sepanjang perjalanan kasus Covid19 di Indonesia, pemerintah
beberapa kali membuat keputusan yang direvisi atau keputusan yang tidak sinkron
antar pejabat satu dengan lainnya.
Ada
pejabat yang memberlakukan lockdown daerah, pemerintah pusat melarang,
karena menganggap lockdown adalah keputusan pusat. Pemerintah melarang
berkumpul, eh ada anggota polisi aktif yang menyelenggarakan pesta
pernikahan mewah, dihadiri Wakil Kepala Polri, sementara ada berita juga polisi
marah – marah membubarkan pesta pernikahan warga biasa.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Pemerintah
mengeluarkan kebijakan rapid test nasional, eh tapi pejabat negara
duluan yang dilayani, dan untuk masyarakat biasa dikenakan biaya. Entah kapan rapid
test nasional dilakukan, lupakan aja, paling pemerintah juga lupa pernah ngomong
gitu di media.
Kebijakan
yang berganti – ganti, tidak sinkron, bahkan blunder ini membuat
masyarakat bingung. Sadar atau tidak penyebab kekacauan dan kepanikan di
masyarakat serta banyak hoax yang beredar, ya karena pemerintah sendiri
yang mencla – mencle.
Jika
di negara asia tenggara lain, pemerintah nya mengeluarkan pelayanan penuh untuk
warganya dalam menghadapi Covid19, pemerintah kita seperti ragu untuk itu, dan
celakanya membuka donasi bagi siapa yang mau membantu menangani Covid19 ini.
Kok
pemerintah membuka donasi, bukankah itu kewajibannya melayani warga negara, melindungi
warga negara, dan menjamin kesehatannya.
Penulis
merasa, dengan keadaan negara yang seperti ini, rasa nasionalisme dan kecintaan
rakyat pada negara dirasa menurun. Rakyat seakan acuh dan tidak peduli lagi
dengan kebijakan pemerintah yang berubah – ubah tergantung iklim politik yang
berkembang.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Rakyat
saat ini memilih berfikir untuk keluarga saja, yang penting bekerja dan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Rakyat saat ini sudah lebih kritis.
Kebijakan nasional yang diambil pasti mementingkan kepentingan elit dan pejabat
tinggi dahulu, lalu rakyat kemudian.
Berebut
kuasa, mementingkan kelompok dan golongan seakan sudah menjadi tontonan sehari
– hari di media dalam negeri. Apa bedanya saat ini dengan zaman kolonial. Saat
ini kitapun dijajah tapi bedanya, dijajah oleh bangsa sendiri dengan
bersembunyi di balik kata ‘Demokrasi’.
-----------------------
Schrijver.
2020.
©. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.