ANALISIS KELEMBAGAAN SOSIAL MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI dan SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    ANALISIS KELEMBAGAAN SOSIAL MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI dan SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT

    Praktikum ke   :5                                 Hari,Tanggal   :3 Oktober 2011
    Ruangan          :RK.U2.01                  Mata Kuliah    : Sosiologi Umum (KPM 130)
    ANALISIS KELEMBAGAAN SOSIAL
    MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
    Oleh:Djuhendi Tadjudin
    SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
    PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT
    Oleh:Warner Roell
    Nama Praktikan
    Yudha Bayu Jati Nugroho/E14110116
    Nama Asisten
    M.Haikal Catur Saputra/A24080056
    Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
    Fakultas Ekologi Manusia
    Institut Pertanian Bogor
    2011/2012

    Ikhtisar Bacaan I
    Ciri khas Badui Luar di Kenekes yang selalu memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru tua adalah analogi bagi sistem pengelolaan sumber daya hutan kita. Warna-warna lain bukanlah pilihan bagi suku Badui Luar. Sama dengan sistem pengelolaan hutan kita yang ketika sebuah konsep dioperasikan malah berujung pada kinerja yang ironikal dan berbalik merusak alam, sedangkan opsi perbaikan bukanlah suatu pilihan. 

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    Praktik pengelolaan hutan saat ini sarat persengketaan, baik pada tataran persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan, dan akuan terhadap hak kepemilikan (Tadjudin, 1999b). Pada diskusi ini persengketaan dibatasi pada tata nilai, hak kepemilikan (kelembagaan: institusi), dan model pengelolaan (organisasi). Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku-pelaku terkait (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta.
    Sebenarnya banyak model-model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, namun implementasi bangsa kita cenderung selalu ada bias. Jika kita bisa menggabungkan kontrol pemerintah dan masyarakat dan dalam posisi yang sederajat, maka akan ada kolaborasi yang ideal. Hutan Kemasyarakatan (HKM) merupakan perwujudan pengelolaan hutan tawaran pemerintah yang mengakomodasi kepentingan partisipasi masyarakat luas tadi, berikut dengan keunggulan dan kearifan masyarakat lokal. Menimbang keunggulan konsep HKM, pemerintah mencoba menuangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1998 tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang diundangkan pada tanggal 7 Oktober 1998. Namun, dalam regulasi itu banyak ambiguitas dan tak tepat sasaran.
    Walaupun demikian, apapun bentuk pilihan masyarakat itu harus mencapai hasil akhir efisiensi, keadilan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman sumber daya hayati. Selain itu, bagaimana pun format kelembagaan yang diusulkan harus mempunyai batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan yang jelas.
    Analisis Bacaan I
    Tingkatan Norma Berdasarkan Sanksi Atas Pelanggarannya
    Tingkatan Norma
    Contoh
    Cara ( Usage )
    Ikatan Bisnis
    Pengelolaan Hutan antara pihak pemerintah dan pihak swasta.

    Ikatan Kesamaan Tujuan
    Pemerintah,pihak swasta dan Masyarakat badui bersama-sama dalam pengelolaan sumber daya.
    Kebiasaan (Folkways)
    Kebiasaan masyarakat yang khas dan berbeda
    Masyarakat merasa merdeka untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ini dengan caranya sendiri secara terus menerus.
    Tata Kelakuan (Mores)
    Kontrol terhadap pengelolaan sumber daya.
    Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1998 tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang di undangkan pada tanggal 7 Oktober 1998.


    HKM hanya ditempatkan pada zona tertentu.
    Adat Istiadat (Costums)

    Pakaian masyarakat badui


         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

     Ikhtisar bacaan II
    Telah dilakukan penelitian sistem bagi hasil (bagi garap) pada tahun 1969 atas bantuan Peneliti Jerman dalam Proyek Pertanian Makmur di Klaten, Jawa Tengah. Studi pembandingnya dilakukan di Desa Sukoharjo di dekatnya. Padahal sistem bagi hasil telah dilarang oleh Undang-Undang Agraria Tahun 1990. Namun, berdasarkan sensus pertanian tahun 1963 untuk Jawa Tengah disebutkan pengolah tanah oleh orang lain berjumlah 24%.
                Tak bisa dipungkiri, salah satu ciri khas usaha pertanian adalah skala usaha yang kecil. Hal ini diperparah dengan penghancuran beberapa usaha perkebunan Belanda pada masa kependudukan Jepang. Padahal sistem ini berakar dari masa penjajahan yang bermula pada hukum pemilikan tanah feodal kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Cara ini juga digunakan sebagai alat agitasi politik oleh PKI.
                Si penggarap terutama berasal dari kelompok sosial pedesaan bawah, yaitu (Pe)tani setengah kenceng, (Pe)tani ngindung, (Pe)tani templek, dan (Pe)tani tlosor.  Mereka hanya memiliki peralatan cangkul sederhana, sedangkan kepemilikan hewan pembajak hanyalah identitas pemimpin desa yang merupakan kelas atas desa sebenarnya di pedesaan Jawa Tengah. Adapun bentuk-bentuk dasar bagi hasil yang banyak digunakan, yaitu sistem maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat. Yang banyak dipakai adalah sistem maro (garap separuh, agi separuh).
                Banyak kasus dimana penggarap dibebankan semua kerja dan ongkos produksi tersebut. Apalagi diperburuk dengan adanya smoro, pembayaran tambahan uang oleh penggarap kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan. Termasuk pula di dalamnya kebanyakan ongkos untuk upacara tanam dan panen. Hal yang sama juga terjadi pada aderah tetangga di Sukoharjo.
                Penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil ini harus dilakukan. Pelaksanaan perubahan Undang-Undang Agraria tahun 1960 dapat menjadi langkah awal menuju proses perubahan sosial yang lebih baik.

         style="display:block; text-align:center;"
         data-ad-layout="in-article"
         data-ad-format="fluid"
         data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
         data-ad-slot="6345313352">

    Analisis Bacaan II
    Tingkatan Norma Berdasarkan Sanksi Atas Pelanggarannya
    Tingkatan Norma
    Contoh
    Cara (Usage)

    Pondok sederhana dan peralatan sederhana yang dimiliki penggarap.


    Pembagian warisan terselubung.
    Kebiasaan (Folkways)
    Kebiasaan yang turun-temurun dalam sistem bagi hasil.
    Berbagai macam cara pembagian,seperti:Sistem maro, Sistem mertelu, dan sistem mrapat


    Tipe sromo atau mesi yang terdapat di daerah Surakarta dan Yogyakarta,dimana pembayaran tambahan uang oleh penggarap kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan.
    Tata kelakuan (Mores)
    Pemakaian tanah menurut tradisi
    Kepemilikan tanah feodal kerajaan Surakarta dan Yogyakarta,dimana mensyahkan hak kepamilikan kaum bangsawan di daerah kekuasaannya. Tanah bangsawan diserahkan kepada penduduk untuk di olah.
    Adat Istiadat (Customs)
    Pengaruh sistem adat istiadat, terhadap sistem bagi hasil.
    Penduduk membayarkan upeti hasil bumi kepada para bangsawan yang meminjamkan tanah mereka.


    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad